Makna Thayyib


**

_Oleh: Robi Pamungkas_

Thayib secara bahasa lawan kata Al Khubtsu (kotor) . Dikatakan sya’iun thayyib bermakna thahir (suci) dan nadzif (bersih)[1]. Thayyib dalam Al Quran disebutkan empat kali dalam bentuk mufrad mudzakar (laki-laki tunggal), semuanya digunakan sebagai sifat untuk makanan yang halal; seperti dalam surat Al Baqarah 168, Al Mai’dah 88, Al Anfal 69, dan An Nahl 114[2]. Selain itu Al Quran menggunakan kata thayib dalam bentuk jamak sebanyak 21 kali. Semuanya merujuk kepada makna usaha atau rizki, sifat perhiasan , sifat perempuan dan sifat makanan[3] .

Adapun terkait dengan makna thayib yang menjadi sifat makanan sebagaimana dalam firman Allah ﷻ :

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

 “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu” (QS; Al Baqarah: 168)

Ulama berbeda pendapat terkait makna thayib dalam ayat tersebut. Kurang lebih ulama terbagi menjadi dua bagian besar dalam memandang makna thayib yang menjadi sifat bagi makanan.

1. Kelompok pertama, berpendapat jika makna thayib dalam ayat adalah halal itu sendiri, sehingga ia menjadi taukid (penguat) dari lafadz halal sebelumnya. Ini menjadi pendapat Madzhab Maliki secara umum dan salah satu pendapat Madzhab Hanafi. Imam Al Qurthubi berkata dalam tafsirnya;

 

وَالطَّيِّبُ هُنَا الْحَلَالُ، فَهُوَ تَأْكِيدٌ لِاخْتِلَافِ اللَّفْظِ، وَهَذَا قَوْلُ مَالِكٍ فِي الطَّيِّبِ. وقال الشافعي: الطيب المستلذ، فهوتَنْوِيعٌ، وَلِذَلِكَ يُمْنَعُ أَكْلُ الْحَيَوَانِ الْقَذِرِ

“Makna thayib diayat ini adalah halal. Dia adalah taukid (penegas) karena berbedanya lafadz. Ini adalah pendapat Malik dalam makna thayib. Imam Syafii berkata; thayib adalah sesuatu yang dianggap lezat, maka ia termasuk pen-jenisan. Oleh karenanya dilarang memakan hewan yang menjijikan”[4]

Imam Al Jashas menjelaskan dalam tafsirnya ;

اسْمُ الطَّيِّبَاتِ يَتَنَاوَلُ مَعْنَيَيْنِ: أَحَدُهُمَا: الطَّيِّبُ الْمُسْتَلَذُّ, وَالْآخَرُ: الْحَلَالُ وَذَلِكَ لِأَنَّ ضِدَّ الطَّيِّبِ هُوَ الْخَبِيثُ, وَالْخَبِيثُ حَرَامٌ, فَإِذَا الطَّيِّبُ حَلَالٌ; وَالْأَصْلُ فِيهِ الِاسْتِلْذَاذُ, فَشَبَّهَ الْحَلَالَ بِهِ فِي انْتِفَاءِ الْمَضَرَّةِ مِنْهُمَا جَمِيعًا

“Thayyibat mencakup dua makna; yang pertama bermakna yang baik yang diangga lezat atau nikmat, makna kedua bermakna halal. Karena lawan kata thayib adalah khabits (buruk), sedangkan khabits adalah haram, oleh karenanya thayib adalah halal. Makna asal thayib adalah lezat, halal disamakan dengan thayib karena sama-sama tidak ada unsur bahaya pada keduanya”[5]

Artinya dari paparan Imam al Jashsas thayib bisa disimpulkan memiliki dua makna;

1. Bermakna lezat atau nikmat

2. Bermakna halal itu sendiri

Sedangkan yang berhak memutuskan thayib adalah tabiat yang selamat pada diri manusia yang bisa menentukan mana makanan yang baik dan buruk.

2. Kelompok kedua, berpendapat makna thayib berbeda dengan makna halal. Ini menjadi pendapat Madzhab Syafii dan Hanbali secara umum.  

 Madzhab Syafii dan Hanbali sendiri memiliki jawaban yang hampir sama terkait mengapa kata thayib tidak dimaknai halal. Imam An Nawawi dalam al Majmu’ mengatakan ;

قَالَ أَصْحَابُنَا وَغَيْرُهُمْ وَلَيْسَ الْمُرَادُ بِالطَّيِّبِ هُنَا الْحَلَالَ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ الْمُرَادُ الْحَلَالَ لَكَانَ تَقْدِيرُهُ أُحِلَّ لَكُمْ الْحَلَالُ وَلَيْسَ فِيهِ بَيَانٌ وَإِنَّمَا الْمُرَادُ بِالطَّيِّبَاتِ مَا يَسْتَطِيبُهُ الْعَرَبُ وَبِالْخَبَائِثِ مَا تَسْتَخْبِثُهُ

“Berkata ashab kami dan yang lainnya. Tidaklah yang dimaksud thayib disini adalah halal (maksudnya Al Maidah 4-5). Karena jika yang dimaksud adalah halal, pastilah takdirnya ‘dihalalkan bagi kalian sesuatu yang halal’ , sehingga tidak ada didalamnya penjelasan (jawaban). Tetapi yang dimaksud thayyib adalah apa yang dianggap baik oleh orang Arab dan al Khabaits adalah apa yang dianggap buruk oleh orang Arab”[6]

Artinya dalam madzhab Syafii, thayib adalah sesuatu yang dianggap baik, nikmat atau lezat, dan yang berhak memutusakn ini baik dan buruk adalah orang Arab, karena mereka-lah yang diseru oleh Al Quran.

Imam Ibnu Qudamah dalam Al Mughninya mengatakan;

لَوْ أَرَادَ الْحَلَالَ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ جَوَابًا لَهُمْ. وَمَا اسْتَخْبَثَتْهُ الْعَرَبُ، فَهُوَ مُحَرَّمٌ

“seandainya yang Allah kehendaki adalah halal (maksudnya al Maidah ayat 4) , maka hal itu tidak mungkin menjadi jawaban bagi mereka. Apa apa yang dianggap jijik oleh bangsa Arab maka haram”[7]

Hampir sama dengan madzhab Syafii, dalam madzhab Hanbali pun yang berhak memutuskan makanan baik dan buruk adalah bangsa Arab.

Penulis lebih condong kepaa jawabannya Prof Mustafa Ali Yaqub dalam bukunya ‘Kriteria Halal dan Haram Untuk Pangan, Obat, Kosmetika Menurut Al Quran dan Hadis’ . Beliau berpendapat kedua kelompok tersebut semuanya benar, karena memang tidak ada dalil yang spesifik menjelaskan makna thayib. Sehingga pendapat yang mengatakan bahwa thayib adalah apa yang dihalalkan oleh syariat benar, begitu juga apa yang dianggap oleh tabiat manusia sebagai makanan yang lezat, sehat dan tidak berbahaya juga benar.[8]

Sebagaimana perkataan ulama bahwa tahyib itu adalah halal, suci (tidak najis), tidak berbahaya dan lezat. Maka dengan kriteria thayib ini, yang berhak memutuskan ini thayib atau tidak, tidak hanya terbatas kepada bangsa Arab saja sebagaimana yang menjadi pendapat Madzhab Syafii dan Hanbali. Karena selain bangsa Arab pun bisa untuk menentukan dan memutuskan mana makanan  yang halal, tidak berbahaya dan lezat. Namun, tidak setiap manusia memiliki kemampuan untuk menjangkau mana saja makanan yang halal, baik, dan tidak berbahaya. Hanya orang yang memiliki keahlian dalam bidang ini saja (seperti ulama , ahli gizi, dan makanan) yang mengetahui pasti mana yang halal, baik, dan tidak berbahaya

*Kesimpulan*

Thayib bisa bermakna halal dan makanan yang baik, tidak berbahaya, lezat , dan nikmat. Sedangkan yang berhak menentukan ini halal dan thayib adalah para ahli tidak diserahkan ke semua manusia secara umum

Waallahu’alam  

 

[1] Al Mawsu’ah al Kuwaitiyah, 3/329

[2] Mustafa Ya’qub, Kriteria halal dan Haram, hal.12

[3] Idib, hal. 13

[4] Al Qurthubi, al jami’ li Ahkami Al Quran, 2/208

[5] Al Jashas, Ahkamu Al Quran, 2/393

[6] An Nawawi, al Majmu’ , 9/26

[7] Ibnu Qudamah, Al Mughni, 9/405

[8] Mustafa Yaqub, Kriteria Halal dan Haram, hal.30-31

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mati karena sesuai dengan kebiasaannya

ILMU TERBAGI MENJADI DUA (ILMU DHARURI DAN ILMU NAZHARI)

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA