MAKNA BERSAKSI* ➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖ Bagian 1⃣

*Apakah bersaksi artinya kita mesti melihat apa yang kita persaksikan?*

*Bersaksi akan adanya Allah, mestikah kita melihat Allah dahulu, bersaksi Muhammad Rasulullah, mestikah kita melihat Rasulullah dahulu?*

*Mari kita bahas.*
_Dalam bahasa Arab dan dalam syariat, persaksian disebut SYAHADAT (شهادة). Kata itu biasa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan BERSAKSI. Terjemahan ini bisa jadi mewakili kata syahadat, bisa jadi tidak. Untuk menentukannya, kita mesti mengetahui makna syahadat dalam bahasa Arab dan syariat Islam serta mengetahui makna bersaksi dan penggunaannya dalam bahasa Indonesia._

_Menurut bahasa Arab dan syariat, syahadat artinya mengikrarkan sesuatu yang diketahui atau diilmui dan diyakini dengan mantap lalu mengamalkan konsekuensinya. (Taisir al-‘Aziz al-Hamid, I’anatul Mustafid, Tahdzibul Lughah, dan Mu’jam al-Maqayis)_

*Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bersaksi memiliki beberapa makna, di antaranya, “Menyatakan (mengakui) dengan sesungguhnya.”*

*Maknanya mendekati makna syahadat. Yang jelas, bersaksi berbeda dengan menyaksikan.*

_Seorang dikatakan seorang bersyahat LA ILAHA ILLALLAH, bersaksi bahwa tiada ilah (sesembahan yang benar) kecuali Allah, dan bersaksi bahwa MUHAMMAD RASULULLAH (Muhammad utusan Allah), tidak mesti dia melihat Allah subhanahu wa ta’ala dan Muhammad shallallahu alaihi wa sallam terlebih dahulu._

_Akan tetapi, yang mesti—dan itu menjadi syarat—adalah dia mengetahui dan meyakini dengan mantap adanya Allah, dan Dia sebagai satu-satu-Nya Ilah yang berhak diibadahi, serta meyakini dengan mantap bahwa Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muththalib al-Qurasyi benar-benar sebagai utusan Allah, lalu mengamalkan konsekuensinya._

*Mengetahui dan meyakini adanya Allah tidak mesti melihat Allah terlebih dulu. Adanya Allah adalah sesuatu yang pasti dan tidak bisa diingkari. Adanya Allah telah ditunjukkan oleh banyak dalil (bukti nyata), dalil fitrah, dalil inderawi (dapat dirasakan), dalil akal, dan dalil syariat, sebagaimana diterangkan oleh para ulama.*

_Pengetahuan dan ilmu bisa diperoleh dari berita yang jujur dan benar. Saya rasa, orang yang berakal sehat akan sepakat dengan hal ini. Misalnya, ada satu orang yang kita ketahui sangat jujur dan tidak pernah berbohong, mengabarkan kepada kita bahwa di suatu kota ada kejadian rumah terbakar. Tentu kita akan percaya dan yakin, apalagi yang mengabarkan ternyata ada dua orang, tiga orang, dan seterusnya. Mereka semua memberitahukan sesuatu yang sama, tanpa ada kesepakatan pemberitaan di antara mereka. Kita pasti akan menerima berita itu dan kita yakin kebenarannya. Kalau kita tidak yakin, berarti justru kita yang nyeleneh dan aneh. Justru sikap nyeleneh ini yang tidak masuk akal sehat._

*Nah, Nabi Muhammad adalah orang yang tidak pernah berbohong dalam hidupnya. Orang musyrikin saja mengakui kejujuran beliau, apalagi kaum muslimin. Beliau mengabarkan adanya Allah dan bahwa Allah telah mengutus beliau. Beliau—seorang yang tidak berani berdusta atas nama manusia—tidak mungkin berani berdusta atas nama Allah. Berita ini pasti benar.*

_Kalau ada yang mengatakan, “Nabi Muhammad sendiri, kita kan tidak melihatnya. Bagaimana kita mengimani beritanya?”_

*Orang semacam ini, tidak pantas kita berbicara dengannya atau mendengarkan omongannya. Sebab, andai alasan semacam itu benar, dia mestinya tidak percaya dengan semua manusia yang namanya telah tertulis dalam sejarah.*

_Sejarah Nabi Muhammad tidak bisa diingkari. Berita-berita yang sahih dari beliau pasti benar. Apalagi terkait adanya Allah, bukan hanya beliau yang memberitakan, para nabi dan rasul yang lain—yang berjumlah ribuan—juga memberitakannya. Bahkan, selain penganut ajaran Islam pun mengakui adanya Allah dan memberitakannya. Orang yang tidak mempercayai adanya Allah justru sikapnyalah yang tidak masuk akal sehat._

*Bersambung...*
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
*↘ join telegram ⬇*
�� https://t.me/FadhlulIslam
Sumbe, http://forumsalafy.net/28583-2/
*��Publikasi:*
*��WA Fadhlul Islam*
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mati karena sesuai dengan kebiasaannya

ILMU TERBAGI MENJADI DUA (ILMU DHARURI DAN ILMU NAZHARI)

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA