Apa saja Rahasia antara Rabb dan HambaNya?



1.       Ni’matAllah ‘Azza wa Jalla kepada hamba-hambanya yang beramal sholeh
فَلا تَعْلَمُ نَفْسٌ ما أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزاءً بِما كانُوا يَعْمَلُونَ
“Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang oleh mata sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” [As-Sajadah: 17]
Yaitu, “Tidak seorangpun yang mengetahui keagungan apa yang Allah rahasiakan untuk mereka di surga berupa kenikmatan yang kekal abadi dan berbagai kelezatan yang tidak pernah diketahui oleh seorang pun. Tatkala mereka merahasiakan amalannya, maka Allah merahasiakan untuk mereka pahalanya, sebagai pembalasan yang selayaknya, karena balasan itu adalah sesuai dengan jenis amalan.
Al-Hasan Al-Bashry berkata, “Suatu kaum merahasiakan amalannya, maka Allah merahasiakan untuk mereka kenikmatan yang tidak pernah dilihat oleh mata dan tidak pernah terlintas dalam benak seorang manusia pun.” Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.” [Demikian penafsiran Ibnu Katsir rahimahullah]
Ayat ini adalah kaidah bahwa siapa yang merahasian suatu amalan, maka Allah akan merahasiakan untuk kenikmatan yang tidak pernah dilihat oleh pandangan mata. [Sebagaimana dalam Tafsir Ath-Thabary 20/186]
Cakupan ayat berlaku untuk seluruh amalan yang dilakukan oleh seorang hamba secara rahasia, termasuk shalat malam yang disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya.
Sebagian ulama ada menafsirkan ayat “atas apa yang mereka kerjakan” bahwa amalan mereka adalah puasa. [Mau’izhatul Mukminin hal. 59]
Hal tersebut adalah karena, “Puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia. Memang (manusia) kadang mengetahui bahwa dia meninggalkan pembatal-pembatal puasa yang zhahir. Adapun dia meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena (Allah) Yang dia ibadahi, hal tersebut tidak diketahui oleh seorang manusiapun. Itulah hakikat puasa.” [Demikian paparan Ibnul Qayyim dalam Zâdul Ma’âd 2/27]
2.       Kedudukan Allah sebagai rabb
 Rabb (tuhan) berarti Tuhan yang ditaati yang Memiliki, Mendidik, Mengurus dan Memelihara. Lafal Rabb
tidak dapat dipakai selain untuk Allah, kecuali kalau ada sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah).
'Alamiin (semesta alam) adalah semua yang diciptakan Allah yang terdiri dari berbagai jenis dan macam,
seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Allah
Pencipta semua alam-alam itu, Dia-lah yang menciptakan semua makhluk, yang mengurus urusan mereka,
mengurus semua makhluk-Nya dengan nikmat-nikmat-Nya dan mengurus para wali-Nya dengan iman dan
amal yang shalih. Dengan demikian, pemeliharaan Allah Ta'ala kepada alam semesta itu ada yang umum dan
ada yang khusus. Yang umum adalah diciptakan-Nya mereka, diberi-Nya rezeki, diberi-Nya mereka
petunjuk kepada hal-hal yang bermaslahat bagi mereka agar mereka dapat hidup di muka bumi, sedangkan
yang khusus adalah dengan dididik-Nya para wali-Nya (orang-orang beriman dengan taqwanya) dengan iman dan amal shalih atau diberi-Nya taufiq kepada setiap kebaikan dan dihindarkan dari semua keburukan. 



 “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. 10:62) (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. (QS. 10:63) Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar. (QS. 10:64)” (Yunus: 62-64)

Mungkin inilah rahasia mengapa do'a yang
diucapkan para nabi kebanyakan menggunakan lafaz Rabb (seperti Rabbi atau Rabbanaa). Ayat ini
menunjukkan bahwa hanya Allah-lah Rabbul 'aalamin; yang menciptakan, mengatur, memberi rezeki,
menguasai dan memiliki alam semesta; tidak ada Rabb selain-Nya.


أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ (١٤) هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ ذَلُولا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ     (١٥)
14. [8]Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan)?[9] Dan Dia Mahahalus[10] lagi Maha Mengetahui.
15. Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi[11], maka jelajahilah di segala penjurunya[12] dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan[13].
lanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman berdalih dengan dalil ‘aqli (akal) untuk menunjukkan ilmu-Nya.
[9] Yakni bagaimana mungkin Allah Subhaanahu wa Ta'aala yang menciptakan makhluk, merapihkannya dan memperbagusnya tidak mengetahui makhluk ciptaan-Nya?
[10] Yang halus ilmu-Nya sehingga mengena kepada semua yang rahasia dan tersembunyi serta semua yang gaib. Termasuk makna Lathiif adalah Yang Mahalembut kepada hamba dan wali-Nya, Dia mengarahkan kebaikan dan ihsan kepadanya dari arah yang tidak ia sadari serta melindunginya dari keburukan dari arah yang tidak diduga-duga dan meninggikannya ke derajat yang tinggi dengan sebab-sebab yang tidak telintas dalam hati seorang hamba, bahkan Allah Subhaanahu wa Ta'aala menimpakan berbagai hal yang tidak disukainya agar dia mencapai hal-hal agung yang dicintainya dan kedudukan yang mulia.
[11] Dialah Allah yang menundukkan bumi untukmu agar kamu dapat memperoleh kebutuhanmu, seperti menanam, membangun, menggarap dan jalan-jalan untuk menyampaikan ke negeri yang jauh.
[12] Untuk mencari rezeki.
[13] Yakni setelah kamu berpindah dari tempat yang Allah jadikan sebagai ujian dan sebagai penyambung untuk melanjutkan ke negeri akhirat, maka kamu akan dibangkitkan dan dikumpulkan kepada Allah untuk diberi-Nya balasan terhadap amalmu yang baik dan yang buruk.

3.       Ayat-ayat mutasyabihat

Ialah huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan sebagian dari surat-surat Al Quran seperti: Alif laam
miim, Alif laam raa, Alif laam miim shaad dan sebagainya. Di antara ahli-ahli tafsir ada yang menyerahkan
pengertiannya kepada Allah karena dipandang termasuk ayat-ayat mutasyaabihaat, dan ada pula yang
menafsirkannya. golongan yang menafsirkannya ada yang memandangnya sebagai nama surat, dan ada pula
yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad itu gunanya untuk menarik perhatian para pendengar supaya
memperhatikan Al Quran itu, atau untuk mengisyaratkan bahwa Al Quran itu diturunkan dari Allah dalam
bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf abjad. kalau mereka tidak percaya bahwa Al Quran diturunkan
dari Allah dan hanya buatan Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam semata-mata, maka cobalah mereka
buat semacam Al Quran itu. Syaikh As Sa'diy berpendapat bahwa yang lebih selamat adalah diam tidak
mencari-cari maksudnya, yang pasti Allah Ta'ala tidaklah menurunkan begitu saja tanpa ada hikmah di balik
itu hanya saja kita tidak mengetahui. Wallahu a'lam.
Imam Al Qurthubi berkata, "Para ahli tafsir berselisih tentang huruf-huruf yang berada di awal-awal surat.
Amir Asy Sya'biy, Sufyan Ats Tsauriy dan jama'ah ahli hadits berkata, "Ia adalah rahasia Allah dalam Al
Qur'an, dan Allah memiliki rahasia di setiap kitab-Nya, ia termasuk ayat-ayat mutasyabihat yang hanya
Allah saja mengetahuinya, ia tidak mesti dibicarakan, akan tetapi kita mengimaninya dan membacanya.



Faidah Lebih utama Menyembunyikan Amalan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup dan yang suka mengasingkan diri.” (HR. Muslim no. 2965, dari Sa’ad bin Abi Waqqash.)
Mengasingkan diri berarti amalannya pun sering tidak ditampakkan pada orang lain.
Ibnul Mubarok mengatakan, “Jadilah orang yang suka mengasingkan diri (sehingga amalan mudah tersembunyi, pen), dan janganlah suka dengan popularitas.”
Az Zubair bin Al ‘Awwam mengatakan, “Barangsiapa yang mampu menyembunyikan amalan sholihnya, maka lakukanlah.”
Ibrahim An Nakho’i mengatakan, “Kami tidak suka menampakkan amalan sholih yang seharusnya disembunyikan.”
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa Abu Hazim berkata, “Sembunyikanlah amalan kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan amalan kejelekanmu.”
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Sebaik-baik ilmu dan amal adalah sesuatu yang tidak ditampakkan di hadapan manusia.”
Basyr Al Hafiy mengatakan, “Tidak selayaknya orang-orang semisal kita menampakkan amalan sholih walaupun hanya sebesar dzarroh (semut kecil). Bagaimana lagi dengan amalan yang mudah terserang penyakit riya’?”
Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sudah sepatutnya bagi seorang alim memiliki amalan rahasia yang tersembunyi, hanya Allah dan dirinya saja yang mengetahuinya. Karena segala sesuatu yang ditampakkan di hadapan manusia akan sedikit sekali manfaatnya di akhirat kelak.”
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ
Seseorang yang bersedekah kemudian ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.

Contoh yang mempraktekan hadits di atas adalah ‘Ali bin Al Husain bin ‘Ali. Beliau biasa memikul karung berisi roti setiap malam hari. Beliau pun membagi roti-roti tersebut ke rumah-rumah secara sembunyi-sembunyi. Beliau mengatakan,
إِنَّ صَدَقَةَ السِّرِّ تُطْفِىءُ غَضَبَ الرَّبِّ عَزَّ وَ جَلَّ
Sesungguhnya sedekah secara sembunyi-sembunyi akan meredam kemarahan Rabb ‘azza wa jalla.” Penduduk Madinah tidak mengetahui siapa yang biasa memberi mereka makan. Tatkala ‘Ali bin Al Husain meninggal dunia, mereka sudah tidak lagi mendapatkan kiriman makanan setiap malamnya. Di punggung Ali bin Al Husain terlihat bekas hitam karena seringnya memikul karung yang dibagikan kepada orang miskin Madinah di malam hari. Subhanallah, kita mungkin sudah tidak pernah melihat makhluk semacam ini di muka bumi ini lagi.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْجَاهِرُ بِالْقُرْآنِ كَالْجَاهِرِ بِالصَّدَقَةِ وَالْمُسِرُّ بِالْقُرْآنِ كَالْمُسِرِّ بِالصَّدَقَةِ
Orang yang mengeraskan bacaan Al Qur’an sama halnya dengan orang yang terang-terangan dalam bersedekah. Orang yang melirihkan bacaan Al Qur’an sama halnya dengan orang yang sembunyi-sembunyi dalam bersedekah.
Setelah menyebutkan hadits di atas, At Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini bermakna bahwa melirihkan bacaan Qur’an itu lebih utama daripada mengeraskannya karena sedekah secara sembunyi-sembunyi lebih utama dari sedekah yang terang-terangan sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama. Mereka memaknakan demikian agar supaya setiap orang terhindar dari ujub. Seseorang yang menyembunyikan amalan tentu saja lebih mudah terhindar dari ujub daripada orang yang terang-terangan dalam beramal.”
Yang dipraktekan oleh para ulama, mereka sampai-sampai menutupi mushafnya agar orang tidak tahu kalau mereka membaca Qur’an. Ar Robi’ bin Khutsaim selalu melakukan amalan dengan sembunyi-sembunyi. Jika ada orang yang akan menemuinya, lalu beliau sedang membaca mushaf Qur’an, ia pun akan menutupi Qur’annya dengan bajunya. Begitu pula halnya dengan Ibrohim An Nakho’i. Jika ia sedang membaca Qur’an, lalu ada yang masuk menemuinya, ia pun segera menyembunyikan Qur’annya. Mereka melakukan ini semua agar amalan sholihnya tidak terlihat oleh orang lain.
Uqbah bin ‘Abdul Ghofir mengatakan, “Do’a yang dilakukan sembunyi-sembunyi lebih utama 70 kali dari do’a secara terang-terangan. Jika seseorang melakukan amalan kebaikan secara terang-terangan dan melakukannya secara sembunyi-sembunyi semisal itu pula, maka Allah pun akan mengatakan pada malaikat-Nya, “Ini baru benar-benar hamba-Ku.

Amalan yang terkadang disembunyikan dan terkadang ditampakkan seperti amalan sedekah. Jika dia kawatir tertimpa riya’ atau dia tahu bahwasanya biasanya kalau dia nampakan amalannya dia akan riya’, maka amalan (sedekah) tersebut disembunyikan lebih baik daripada jika ditampakkan. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ

 Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 271)
“Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yang melakukan jahr. Di antara bentuk melakukan jahr adalah seseorang di malam hari melakukan maksiat, namun di pagi harinya –padahal telah Allah tutupi-, ia sendiri yang bercerita, “Wahai fulan, aku semalam telah melakukan maksiat ini dan itu.” Padahal semalam Allah telah tutupi maksiat yang ia lakukan, namun di pagi harinya ia sendiri yang membuka ‘aib-‘aibnya yang telah Allah tutup. (HR. Bukhari no. 6117  dan Muslim no. 37, dari ‘Imron bin Hushain.)


3.             tafsir hidayatul insan, Abu Yahya Marwan bin Musa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mati karena sesuai dengan kebiasaannya

ILMU TERBAGI MENJADI DUA (ILMU DHARURI DAN ILMU NAZHARI)

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA