An Nahl 116-117

ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﻟِﻤَﺎ ﺗَﺼِﻒُ ﺃَﻟْﺴِﻨَﺘُﻜُﻢُ ﺍﻟْﻜَﺬِﺏَ ﻫَٰﺬَﺍ ﺣَﻠَﺎﻝٌ ﻭَﻫَٰﺬَﺍ ﺣَﺮَﺍﻡٌ ﻟِﺘَﻔْﺘَﺮُﻭﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟْﻜَﺬِﺏَ ۚ ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻔْﺘَﺮُﻭﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟْﻜَﺬِﺏَ ﻟَﺎ ﻳُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ ﻣَﺘَﺎﻉٌ ﻗَﻠِﻴﻞٌ ﻭَﻟَﻬُﻢْ ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﺃَﻟِﻴﻢٌ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka adzab yang pedih. [an-Nahl /16 : 116-117]
Ayat di atas membicarakan salah satu dari sekian banyak budaya jahiliyyah yang berkembang di tengah masyarakat zaman dulu, sebelum akhirnya terhapus syariat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Yakni, mengharamkan dan menghalalkan sesuatu tanpa mengindahkan dan tanpa merujuk kepada wahyu ilahi maupun ketetapan-ketetapan hukum samawi lainnya yang berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, Yang Maha Mengetahui kemaslahatan seluruh makhluk. Padahal, mereka mengklaim sebagai para penganut ajaran Nabi Ibraahim Alaihissallam. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang umat Islam mengikuti jalan kaum musyrikin tersebut.

Dahulu, para generasi Ulama Salaf, mereka bersikap wara (menjaga diri) dalam mengeluarkan pernyataan “ini halal dan itu haram”, lantaran takut terhadap ayat di atas. Selain itu, ialah untuk menunjukkan tingginya sopan santun mereka di hadapan Allah dan Rasul-Nya, yang berhak menetapkan hukum atas umat manusia, padahal mereka mengetahui dalil penghalalan atau pengharamannya dengan jelas. ( I’lâmul-Muwaqqi’în (2/75-77), Adhwâul-Bayân (3/347), Riyâdhush-Shâlihin (Bahjatun-Naazhirîn).) 

Menilai perkara itu halal dan haram harus ada persyaratan yang dipenuhi.
Kecuali bagi yang telah jelas penghalalannya dan pengharamannya dalam syari'at, kalau minuman disebutkan haramnya khamr, darah yang mengalir dan sebagainya.

Yang belum jelas dan perkaranya belum di zaman Nabi, maka seorang mujtahid yang menilainya dan perlu persyaratan khusus. Maka seorang thalabul ilmi hanya mengambil faidah dari seorang mujtahid apabila mujtahid tersebut menilai dengan ilmu.

Zaman semakin maju, maka para ulama juga mewanti- wanti agar sebagai peringatan terhadap transaksi-transaksi yang diterangkan oleh ulama salaf, agar umat berwara' terhadap transaksi-transaksi yang bisa terjatuh ke perkara riba, gharar dan maisir.

Begitu pula dalam berguru, ulama salaf mewanti- wanti agar tidak berguru pada ahlul bid'ah.

Hal ini sebagai pengalaman terhadap yang disebutkan dalam hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﻼَﻝَ ﺑَﻴِّﻦٌ ﻭَﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡَ ﺑَﻴِّﻦٌ ﻭَﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ ﺃُﻣُﻮْﺭٌ ﻣُﺸْﺘَﺒِﻬَﺎﺕٌ ﻻَ ﻳَﻌْﻠَﻤُﻬُﻦَّ ﻛَﺜِﻴْﺮٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ، ﻓَﻤَﻦِ ﺍﺗَّﻘَﻰ ﺍﻟﺸُّﺒُﻬَﺎﺕِ ﻓَﻘَﺪْ ﺍﺳْﺘَﺒْﺮَﺃَ ﻟِﺪِﻳْﻨِﻪِ ﻭَﻋِﺮْﺿِﻪِ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻭَﻗَﻊَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺸُّﺒُﻬَﺎﺕِ ﻭَﻗَﻊَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡِ ، ﻛَﺎﻟﺮَّﺍﻋِﻲ ﻳَﺮْﻋﻰَ ﺣَﻮْﻝَ ﺍﻟْﺤِﻤَﻰ ﻳُﻮْﺷِﻚُ ﺃَﻥْ ﻳَﺮْﺗَﻊَ ﻓِﻴْﻪِ ، ﺃَﻻَ ﻭَﺇِﻥَّ ﻟِﻜُﻞِّ ﻣَﻠِﻚٍ ﺣِﻤًﻰ ﺃَﻻَ ﻭَﺇِﻥَّ ﺣِﻤَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻣَﺤَﺎﺭِﻣُﻪُ ﺃَﻻَ ﻭَﺇِﻥَّ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﺴَﺪِ ﻣُﻀْﻐَﺔً ﺇِﺫَﺍ ﺻَﻠَﺤَﺖْ ﺻَﻠَﺢَ ﺍﻟْﺠَﺴَﺪُ ﻛُﻠُّﻪُ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻓَﺴَﺪَﺕْ ﻓَﺴَﺪَ ﺍﻟْﺠَﺴَﺪُ ﻛُﻠُّﻪُ ﺃَﻻَ ﻭَﻫِﻲَ ﺍﻟْﻘَﻠْﺐُ
Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati “. (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun tentu bukan cara yang diwarisi salaf yaitu bermudah-mudahan menghukumi perkara yang tidak/be
lum terbukti haramnya. Begitu juga menghukumi syubhat apabila tidak terbukti akan berbahaya bagi seorang muslim.

Kekeliruan yang terjadi pada sebagian thalabul ilmi. Menempatkan dirinya seolah-olah mujtahid, bermudah-mudahan kepada ikhwan nya mengatakan syubhat, ahlul Bid'ah, Hizbi atau kafir. Inilah perilaku yang dikecam oleh syari'at.

Seorang yang bermanhajkan salaf sudah seharusnya ia pertengahan, tidak meremehkan perkara yang dilarang dan tidak ekstrim, bermudah-mudahan menilai sesuatu yang belum jelas dan terbukti.
Maka para ulama mengkhawatirkan perilaku bermudah-mudahan ini ke sesuatu yang ghuluw.

Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyalllahu anhuma ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
… ﻭَﺇِﻳَّﺎﻛُﻢْ ﻭَﺍﻟْﻐُﻠُﻮَّ ﻓِﻲْ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ ، ﻓَﺈِﻧَّﻤَـﺎ ﻫَﻠَﻚَ ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻗَﺒْﻠَﻜُﻢْ ﺑِﺎﻟْﻐُﻠُﻮِّ ﻓِﻲْ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ
‘… Dan jauhilah oleh kalian sikap ghuluw (berlebihan) dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah binasa karena sikap ghuluw (berlebihan) dalam agama.

Maka berhati-hatilah dalam menilai, agar kita termasuk golongan yang selamat. Wallahu A'lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mati karena sesuai dengan kebiasaannya

ILMU TERBAGI MENJADI DUA (ILMU DHARURI DAN ILMU NAZHARI)

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA