Pengajian Sabtu 4 Juni 2016 Masjid PP Persis Viaduct



Menimbang Kontribusi al Mawali dalam Pemerintahan Islam Awal
(Studi Kasus Peran Al Mawali pada Pemerintahan Umar bin Abdul Aziz)
Muslim Nurdin

Kekuasaan Islam yang berawal dari masyarakat Arab dari tanah Hijaz[1] mengalami perubahan cukup besar dan signifikan seiring dengan perluasan wilayahnya. Secara demografis, wilayah Arab dikelilingi oleh suku-suku bangsa yang berbeda. Misalnya, bangsa Persia, Barbar, dan lainnya.[2] Mereka memiliki tradisi dan keyakinan yang berbeda dengan yang dimiliki bangsa Arab. Oleh karena itu, pada masa awal pemerintahan Bani Umayyah (40-132 H/660-750 M)[3] terdapat dikotomi jenis masyarakat, yaitu antara masyarakat Arab dan non-Arab.[4]
Fakta historis kondisi sosial masyarakat Islam klasik pada masa Bani Umayyah melahirkan sebuah stratifikasi sosial tertentu. Munculnya elit-elit kekuasaan yang bersikap eksklusif dan superior terhadap kelompok masyarakat lain merupakan suatu hal yang tidak dapat dinafikan.[5] Hal tersebut semakin memperkokoh tesis yang berkembang di antara sejarawan tentang periode itu sebagai masa Arabisasi.[6]
Dikotomi masyarakat yang terjadi pada masa Daulah Bani Umayyah cenderung kuat. Kepentingan bangsa Arab menjadi salah satu sebab kenyataan tersebut. Pergantian khalifah atau penguasa yang menduduki tampuk kekuasaan di Damaskus[7] tidak memberikan perubahan signifikan bagi struktur sosial masyarakat yang ada. Oleh sebab itu, kondisi yang dialami khususnya oleh kaum non-Arab tidak sama.
Kelas sosial yang telah terbentuk sejak masa Muhammad saw terus mengalami penguatan seiring dengan proses penyebaran Islam ke berbagai wilayah di luar Jazirah Arab.[8] Munculnya stratifikasi sosial tersebut mengisyaratkan lahirnya perbedaan hak dan kewajiban serta peran masing-masing lapisan. Terlebih lagi hal tersebut ditopang dengan kekuatan-kekuatan politik birokrasi yang semakin mengukuhkan perbedaan tersebut.
Kaum non-Arab yang muncul seiring dengan meluasnya kekuasaan Islam dikenal dengan sebutan mawālī. Kelompok kaum ini dari waktu ke waktu memiliki peranan yang terus menguat terutama dalam perkembangan kekuasaan Islam pasca Khalifah ʻUmar Bin ʻAbdul ʻAzīz (99-101 H/717-720 M). Bahkan, kejatuhan Daulah Bani Umayyah di Damaskus disinyalir tidak dapat dilepaskan dari peran signifikan kelompok sosial tersebut.[9]
Istilah mawālī ( موالي ) merupakan bentuk jamak dari maulā (مولى ).[10] Dalam perkembangannya, istilah tersebut mengalami perluasan makna. Sebelumnya  terbatas pada hamba-hamba yang dibebaskan, lalu masih mendapat perlindungan dari seseorang atau suatu kelompok tertentu. Selanjutnya makna mawālī menjadi sebuah kaum yang tidak hanya berasal dari kelompok yang pertama tetapi juga mereka yang merdeka dan berasal dari luar Arab dan beragama non-Islam lalu menjadi muslim.
Pendapat senada dikemukakan Watt. Dia mengartikan istilah maulā atau mawālī  dengan yang dilindungi, yang dijaga, yang dibela,[11] atau client.[12] Adapun secara terminologi, istilah tersebut memiliki beberapa penjelasan. Misalnya, istilah yang mengacu pada suatu kelompok masyarakat yang berasal dari luar Arab. Usaimah berpendapat bahwa makna tersebut merupakan penjelasan yang baru karena yang disebut mawālī bukan berdasar atas hasil dari sebuah hadiah, jual beli atau warisan.[13] Akan tetapi lebih kepada perlindungan yang diperoleh (klien).
Sementara itu terdapat tafsiran-tafsiran lain terkait terminologi mawālī, misalnya Watt. Dia mengelompokkan mawālī menjadi beberapa jenis, yaitu maulā rāḥim (berdasar atas persaudaraan), maulā ʻataqa (berdasar atas pembebasan budak atau hamba sahaya), dan maulā ʻahad (berdasar atas perjanjian).[14] Lain halnya dalam karya Sabastian yang menyebutkan bahwa The mawālī were non-Arabs who had converted to Islam.[15]
Sementara itu, Beg mendapati dinamisasi terkait pemaknaan mawālī dalam perkembangannya. Menurutnya, pada masa awal Islam, mawālī adalah hamba sahaya yang telah mendapatkan kemerdekaan. Adapun pada masa Daulah Bani Umayyah, istilah tersebut mengalami perubahan makna menjadi sekelompok penganut Islam baru (Neo-Muslim).[16] Hal senada dikemukan Reuben Levi dalam karyanya. Dia menyebutkan bahwa dalam pandangan hukum adat kuno Arab maulā atau mawālī adalah anggota suku-suku padang pasir atau kadang-kadang juga orang asing non-Arab yang setelah beberapa lama melampaui ujian kemudian bergabung dengan salah satu suku yang bukan miliknya, dan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan anggota lainnya.[17]
Pendefinisian mawālī lainnya muncul dari Badri Yatim. Dia menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan mawālī adalah umat Islam bukan Arab yang berasal dari Persia, Armenia, dan yang lainnya.[18] Akan tetapi, keumuman pendapat yang muncul terkait istilah tersebut adalah korelasi antara suku Arab dan non-Arab.[19]
Dari konsepsi mawālī tersebut maka dapat diketahui bahwa kelompok sosial masyarakat tersebut telah hadir di tengah kaum muslimin sejak periode awal Islam.[20] Pada masa Nabi Muhammad Saw. golongan yang dikelompokkan ke dalam kaum tersebut telah muncul, seperti sosok sahabat Salmān al-Fārisī.[21] Dia berasal dari Persia yang notabene bukan bagian dari kaum Arab. Temuan tersebut seperti yang dikemukan oleh Beg.[22]
Kaum mawālī merupakan lapisan sosial kelas dua dalam struktur sosial masyarakat Islam periode Daulah Bani Umayyah. Mereka selalu mendapatkan perlakuan-perlakuan tidak adil dari penguasa. Padahal, pada sisi yang lain, pemerintah mengambil keuntungan langsung karena keunggulan-keunggulan yang dimiliki dan tidak didapati dari kaum Arab.[23]
Wujud-wujud ketidakadilan yang diterima kaum mawālī pada masa Daulah Bani Umayyah seperti dalam hal Kharāj.[24] Menurut Levy orang-orang Arab hanya dikenakan wajib zakat dan sedekah, sementara kaum maulā harus membayar kharāj yang dapat berjumlah seperlima dari hasil tanahnya disamping jizyah (pajak kepala). Hal lainnya adalah dalam pemakaian nama kehormatan (kunyah).[25] Dalam  al-‘Aqd al-Farīd, Ibn ʻAbdi Rabbih menyebutkan
Dan mereka melarang bagi setiap mawālī untuk memakai nama kunyah dan tidak dibolehkan pula memanggil mereka kecuali dengan namanya dan laqab (nama panggilan). [26]
Akan tetapi, kondisi yang terjadi terhadap masyarakat Islam pada masa Daulah Bani Umayyah disinyalir mengalami perubahan seiring dengan naiknya ʻUmar Bin ʻAbdul ʻAzīz (99-102 H / 717-720 M) menjadi khalifah menggantikan Sulaimān Bin ʻAbdul Malik (97-99 H/715-717 M).[27] Hal tersebut berpijak pada kebijakan dan cara pengelolaan pemerintahan yang dilakukannya berbeda dengan penguasa sebelumnya.
Kebijakan yang diterapkan Khalifah ʻUmar Bin ʻAbdul ʻAzīz (99-102 H / 717-720 M) berbeda dengan pendahulunya dalam beberapa aspek, seperti penghapusan sikap permusuhan terhadap Ahl Bait.[28] Kebijakan-kebijakan yang dibuatnya mengandung nilai-nilai keadilan bagi semua lapisan masyarakat, tidak hanya golongan Arab, namun juga golongan di luar bangsa Arab. Dengan demikian adalah wajar apabila sosoknya kemudian sering dianggap sebagai ʻUmar II oleh para sejarawan.[29]
Khalifah ʻUmar Bin ʻAbdul ʻAzīz (99-102 H / 717-720 M) memiliki karakter dan kepribadian yang cenderung berbeda dengan para pendahulunya sebagai seorang khalifah. Sebagai keturunan al-Hakkām, dia menjalankan roda pemerintahan dengan cukup baik. Bahkan, sebelum menjadi khalifah, posisinya adalah al-wālī (gubernur) di Mekah[30] pada masa Khalifah Sulaimān Bin ʻAbdul Malik (97-99 H/715-717 M).
Kesalihan Khalifah ʻUmar Bin ʻAbdul ʻAzīz (99-102 H / 717-720 M) mendapat pengakuan dari sejarawan dengan menyandingkannya sejajar bersama khalifah kedua. Akan tetapi, dalam periode inilah disinyalir kekuatan-kekuatan selain dari Bani Umayyah mulai menggeliat, tidak terkecuali dengan kaum  mawālī. Masa tersebut diduga sebagai tahap konsolidasi kekuatan baru yang kemudian menjadi salah satu faktor penting dalam runtuhnya pemerintahan  yang sedang berkuasa



[1] Hijaz merupakan sebuah wilayah daratan yang terdiri atas padang pasir yang luas dan gunung-gunung batu. Secara umum, wilayah tersebut merupakan daerah tandus, tetapi hanya kota Ṭāif lah sebagai salah satu kota utama yang memiliki kondisi alam berbeda dengan dua kota utama lainnya, Mekah dan Madinah. Philip K. Hitti. History of The Arabs. Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), hlm. 108-130.
[2] Lewis menyebutkan bahwa kelompok atau kaum yang kemudian dikenal dengan mawālī adalah mereka yang beragama Islam dan bukan berasal dari keturunan suku Arab. Di antara mereka berasal dari orang Persia, Mesir, Berber (atau Barbar), dan orang non-Arab lainnya. Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah; dari Segi Geografis, Sosial, Budaya dan Peranan Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, Tt), hlm. 63.
[3] Pemerintahan Bani Umayyah merupakan sebuah daulah pertama dalam sejarah Islam dengan sistem pemerintahan yang berbeda dari sebelumnya,yaitu sistem monarkhi. Pemerintahan umat Islam ini didirikan oleh Muawiyah Bin Abī Sufyān yang sekaligus menjadi khalifah pertamanya (40-59 H/661-680 M). G. R. Hawting, The First Dynasty of Islam; The Umayyad Caliphate AD 661-750 (London: Routledge, 2002), hlm. 1-3. Sementara itu, istilah lain yang disandingkan dengan periode tersebut adalah Bani Marwān. Hal tersebut sesuai dengan fakta historis bahwa kekuasaan pada periode tersebut lebih dominan dimainkan oleh keturunan Marwān. Pendapat tersebut tampak pada karya Hodgson. Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam; Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, Masa Klasik. Terj. Mulyadhi Kartanegara, judul asli; The Venture of Islam; Conscience and History in a World Civilization. Vol. II: The Classical Civilization of The High Caliphate (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 5, 17.
[4] Philip K. Hitti. History of The Arabs..., hlm. 255-279. Sementara itu, Watt mendefinisikan kelompok non-Arab ke dalam istilah mawālī  (bentuk jamak dari maulā) memiliki arti yang dibela atau dilindungi. W. Montgomery Watt,. Studi Islam Klasik; Wacana Kritik Sejarah. Terj. Sukoyo dkk. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 54-57, Jonathan P. Berkey, The Formation of Islam; Religion and Society in The Near East 600-1800 (New York: Cambridge University Press, 2003), hlm. 76-78. Dalam istilah lain, status mawālī dapat disejajarkan dengan sebutan “client. Malise Ruthven dan Azim Nanji,  Historical Atlas of Islam (British: Harvard University Press, tt), hlm. 201.
[5] Beg berpendapat bahwa ciri equalitarianisme yang menjadi identitas masyarakat Islam pada periode awal mengalami pergeseran menjadi eksklusifisme. Hal tersebut ditandai dengan kuatnya upaya arabisasi yang tercermin dalam birokrasi pemerintahan. M. A. J. Beg, Mobilitas Sosial dalam Peradaban Islam ; Periode Islam Klasik. Terj. Adeng Muchtar Ghazali dan Thoriq A. Hinduan (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1993), hlm. 25.
[6] Tesis Arabisasi dapat dilihat beragam aspek. Misalnya, birokrasi pemerintahan yang hampir dapat dipastikan harus berasal dari suku atau bangsa Arab. Bahkan, lebih jauh dari itu terdapat kebijakan pemerintahan pada masa Daulah Bani Umayyah yang menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa negara. Lebih lanjut baca G. R. Hawting, The First Dynasty of Islam; The Umayyad Caliphate AD 661-750 (London: Routledge, 2002), hlm. 9-10.
[7] Damaskus merupakan salah satu kota metropolitan penting pada masa Islam awal. Konflik yang terus bekepanjangan dalam tubuh umat Islam, terutama sejak masa ʻAlī Bin Abī Ṭālib, telah memetakan kekuatan-kekuatan politik di sejumlah kota. Dalam hal ini, Damaskus sebagai basis yang kemudian mendukung Muʻāwiyyah. Sementara itu, kota serupa lainnya adalah Kufah yang menjadi basis pengikut ʻAlī dan Ahli Bait.
[8] Kelas sosial yang muncul pada masa Muhammad saw. tidak mengakibatkan munculnya perbedaan dalam memetakan hak dan kewajiban atau peran dan fungsinya masing-masing. Bahkan, upaya penciptaan masyarakat egaliter yang dicontohkan olehnya dilanjutkan pada masa Khulaf ā’ ar-Rāsyidūn. Akan tetapi, hal tersebut mengalami pergeseran ketika memasuki periode Bani Umayyah dan masa-masa berikutnya. M. A. J. Beg, Mobilitas Sosial dalam..., hlm. 25.
[9] Bahkan, Watt mengutip pendapat Julius Wellhausen bahwa setelah terjadinya pemberontakan al-Mukhtār, kelompok mawālī semakin menyadari posisi dan peran politiknya dalam lingkungan masyarakat di masa daulah Bani Umayyah berkuasa. W. Montgomery Watt, Studi Islam Klasik..., hlm. 56.
[10] Adapun menurut ilmu ṣaraf, kata tersebut merupakan ṣigat (bentuk) isim mafʻūl (objek)  dari ولى – يلى - ولاية. Secara etimologi, kata tersebut berarti kekuasaan, perlindungan, atau pertolongan. Dalam Lisān al-Arab, Imam Ibn Mandzur menukil perkataan as-Syibāwaih yang memaknakannya dengan kekuasaan. Muḥammad Bin Mukrām Bin al-Manẓūr al-Afriqī Al-Miṣri, Lisān al-ʻArāb (Mesir. Dar al Shadir. Tt.).  Sementara itu, istilah maulā dapat ditemukan juga dalam al-Qur’an di antaranya dalam surat Muhammad [47] ayat 11.
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ مَوْلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَأَنَّ الْكَافِرِينَ لَا مَوْلَى لَهُمْ
Yang demikian itu karena Allah pelindung bagi orang-orang yang beriman; sedang orang-orang kafir tidak ada pelindung bagi mereka
Bentuk jamak maulā pun terdapat dalam surat Maryam [19] ayat 5. Dalam ayat tersebut, istilah mawālī  bermakna kerabat atau anggota keluarga.
وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا
Dan sungguh, aku khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, padahal istriku seorang yang mandul, maka anugerahilah aku seorang anak dari sisi-Mu”
[11] W. Montgomery Watt, Studi Islam Klasik;…, hlm. 54-57, Jonathan P. Berkey, The Formation of Islam…, hlm. 76-78.
[12] Malise Ruthven dan Azim Nanji, Historical…, hlm. 201.
[13] Usaimah  Al -ʻAdhām, Al-Mujtama’ fī…., hlm. 37-38.
[14] W. Montgomery Watt, Studi Islam Klasik;…, hlm. 56.
[15] Sebastian Günther. Ed., Ideas, Images, and Methods Of Portrayal : Insights Into Classical Arabic Literature and Islam (Leiden: Koninklijke Brill NV., 2005), hlm. 143-144.
[16] M. A. J. Beg, Mobilitas Sosial dalam, hlm. 30-33.
[17] Reuben Levy, Susunan Masyarakat Islam, Terj. H.A. Ludjito judul asli: The Social Structure of Islam. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), hlm. 61.
[18] Badri  Yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 46-47.
[19] Usaimah  Al-‘Adham, Al-Mujtama’ fī ..., hlm. 37-38.
[20] Terkait hal konsepsi mawālī tersebut, Usaimah menduga bahwa term tersebut merupakan sebuah istilah yang terkait dengan perkembangan dan perluasan Islam hingga ke luar Hijaz. Istilah inilah yang kemudian dianggap paling pas. Usaimah  Al-‘Adham, Al-Mujtama’ ..., hlm. 37.
[21] Salmān merupakan seorang muslim yang berasal dari Dihqān, salah satu wilayah di Isfahān. Dia ialah putra seorang tuan tanah yang mengalami nasib buruk karena ditipu dan kemudian dijadikan budak untuk diperjualbelikan. Selanjutnya, dalam masa Islam, statusnya semakin meningkat dan pada masa Khalifah Umar Bin Khaṭāb diangkat menjadi Gubernur di ibu kota Sasaniyah (Ctesiphon). M. A. J. Beg. Mobilitas Sosial dalam , hlm. 26-27.
[22] M.A.J. Beg, Mobilitas Sosial dalam Peradaban Islam ; Periode Islam Klasik. Terj. Adeng Muchtar Ghazali dan Thoriq A. Hinduan (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1993).
[23] Nawas menyebutkan bahwa kaum mawālī telah memberikan sumbangsih tidak sedikit bagi umat Islam secara umum. Dalam penelitiannya tentang kontribusi mawālī dalam tradisi hadis, dia menyebutkan bahwa pada setiap generasi peran mawālī selalu berhasil mengimbangi etnis Arab dalam pemeliharaan hadis-hadis Nabi. Bahkan, pada abad kedua kedudukan mawālī berada di atas etnis Arab. Lebih lanjut baca Sebastian Günther. Ed., Ideas, Images, and Methods Of Portrayal : Insights Into Classical Arabic Literature and Islam (Leiden: Koninklijke Brill NV., 2005), hlm. 141-151.
[24] Kharāj adalah pajak tanah yang harus diberikan kepada pihak penguasa sesuai dengan luas tanah yang dimiliki. Lihat G. R. Hawting, The First Dynasty of Islam; The Umayyad..., hlm. xii.
[25] Reuben Levy, Susunan Masyarakat, hlm. 62.
[26] Usaimah  Al-‘Adham, Al-Mujtama’ fī ..., hlm. 39.
[27] Sulaimān Bin ʻAbdul Malik (97-99 H/715-717 M) merupakan khalifah ketujuh dalam periode Daulah Bani Umayyah. Walaupun masa pemerintahannya pendek, dia cukup berhasil melanjutkan misi-misi pendahulunya dalam memperluas daerah kekuasaan. Satu usaha besar yang dilakukannya adalah berusaha merebut Konstantinopel. Akan tetapi, hal tersebut tidak berhasil. Bahkan, upaya pengepungan yang diinstruksikannya membawa malapetaka bagi pasukannya sendiri. Dia meninggal di Dabik setelah mengalami sakit dan masa pemerintahannya berlangsung sekitar 2 tahun 7 bulan. Ibn al-‘Aṡīr, al-Kāmil fī al-Tārīkh. Juz. IV (Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, 1998), hlm. 311-312,  Abi Ja’far Muhammad Ibn Jarīr At-Tabarī, Tārīkh al-Umam wa al-Muluk. Juz. IV (Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, 2008), hlm. 57-59,  ʻAbdur Rahmān Ibn Khaldūn, Al-ʻIbar wa Diwān al-Mubtada wa al-Khabar fī Ayyām al-ʻArab wa al-‘Azam wa al-Barbar wa Min ‘Ᾱshirahum min Żawī al-Sulṭān al-Akbār (Beirut: Dārul Kutub Ilmiyyah, 1992), III: 89-90.
[28] Kebijakan-kebijakan lainnya yang bersifat mendasar di antaranya pelarangan untuk menjelek-jelekkan ʻAlī Bin Abī Ṭālib ra. dalam setiap kali khutbah Jumat yang telah berlangsung pada masa-masa sebelumnya dalam pemerintahan Bani Umayyah, peninjauan kembali pemungutan pajak antara komunitas Arab dan Non-Arab yang sebelumnya merugikan salah satu pihak menjadi lebih adil. Zurzi Zaedan, Tārīkh al-Tamadun al-Islāmī (Kairo: Dārul al-Hilāl, Tt), I: 92.
[29] Iman Jalāludin Al-Suyūṭī menyebutnya sebagai khalifah yang saleh dan memasukannya sebagai Khulaf ā’ ar-Rāsyidūn yang kelima. Al-Suyūṭī , Tārīkh al-Khulaf ā’ (Kairo: Maktabah aṭ-Ṭaqafi li al-Nasyr wa al-Tauji’, 2006), hlm. 227.
[30] Lihat Abī Ja’far Muhammad Ibn Jarīr Al-Ṭabarī, Tārīkh al-Umam wa al-Muluk..., hlm. 56. Bahkan, pada masa pemerintahan al-Walīd, dia menjabat menjadi gubernur Madinah dari tahun 86-93 H. Al-Suyūṭī, Tārīkh al-Khulafā’ (Kairo: Maktabah aṭ-Ṭaqafi li an-Nasyr wa al-Tauji’, 2006), hlm. 228.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

mati karena sesuai dengan kebiasaannya

ILMU TERBAGI MENJADI DUA (ILMU DHARURI DAN ILMU NAZHARI)

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA