Belajar Dari Seorang Hikmatyar

**
Oleh: *Muhammad Syukri*
Hikmatyar Abdul Aziz. Panggilannya Tyar. Nama itu mungkin adalah buah inspirasi dari seorang pejuang Afghanistan, Gulbuddin Hekmatyar. Entahlah. Saya juga belum pernah memastikan ke bapaknya. Saya hanya ingin bercerita tentang sosok kurusnya. Semoga kita bs mengambil pesan besar dibalik kesederhanaannya dalam memadang kehidupan.
Saya mengenalnya sebagai rekan, lawan tanding dalam kebaikan, dan tentu, sebagai saudara. Dua hari lalu, setelah sekian lama tak bersua, kami kembali bertatap muka dalam sebuah jumpa yg tak kami sengaja: jama'ah subuh.
Senyum bahagia menyelimuti saya pagi itu. Terbayang jelas di awang2: sebentar lagi, kau akan mendengar cerita besar dari sesosok pemuda yg tak biasa!
Benar saja, tak perlu menunggu lama bagi telinga saya untuk mendengar kabar besar itu. Pertanyaan saya "kedepan akan seperti apa?" dijawabnya dengan malu2..
"Alhamdulillah, udah diterima S2 di belanda sama swedia"
"Allahuakbar!" benar2 kabar yg membuat senyum saya makin lebar.
"Ielts dapet 6.5 berarti? Berapa kali tes?"
"Alhamdulillah. Allah kasih kemudahan. Kemarin kena sekali tembak."
Hebat! Saya kenal dia betul waktu kami masih sama2 mengejar gelar sarjana. _Asli wong yogjo. Omongane medhok. Ra ono inggris2.e babar blas._
Mungkin para pejuang Ielts bisa memahami, betapa tes yg satu ini akan menguras banyak hal dalam hidup kita, terutama bagi mereka yg tak biasa bersentuhan dg bahasa inggris sejak belia. Dan Tyar adalah salah satunya. Ada banyak sekali cerita dari mereka2 yg butuh 7 sampai -bahkan- 10 kali tes untuk mencetak angka 6.5. Sebagai catatan, anda perlu keluar uang 2.8 juta untuk setiap kali tes nya.
Segera saya bilang "sebelum hengkang dari Indonesia, kau wajib ketemu adik2 dulu. Ajari mereka banyak hal, terutama bagaimana caramu mendapatkan nilai 6.5 tanpa bimbingan intensif berbulan-bulan."
Dia angkat bicara..
"Bro, ada satu hal yang jauh lebih penting dari sebuah metode pembelajaran, dan ini harus benar2 dipastikan ada di dalam diri seseorang, sebelum dia memulai proses pembelajaran tersebut."
"apa itu?". Dahiku mengernyit.
"Perasaan butuh akan ilmu yg sedang dipelajari. Itu yang paling penting."
Aku terdiam. Dia melanjutkan.
"Aku udah hampir putus asa menyiapkan studi lanjutku ke luar negeri ini, krna aku harus memulai segalanya dari Nol. Benar-benar dari Nol. Tapi aku sadar, aku tak punya pilihan lain. Aku butuh ini semua. Rasa butuhku itulah yg selalu menjadi penyeka keringatku saat dia jatuh bercucuran di tengah2 raga yg mulai merasa lelah.
Sama seperti orang yg sedang lapar . Andaikata akhirnya mereka benar2 mati kelaparan, bisa dipastikan mereka mati dalam rangkaian perjalanannya mencari sesuap makanan. Karena mereka butuh. Aku juga sama. Andaikan aku mati dalam prosesku ini, aku ingin mati dalam detik2 perjuanganku memenuhi kebutuhanku sendiri."
Di poin ini saya makin menyadari, bahwa yg lebih sulit bukanlah menjawab pertanyaan "bagaimana cara belajar yg paling tepat?", tapi "bagaimana cara memunculkan rasa kebutuhan untuk terus-menerus belajar?"
Dan obrolan kami pagi itu, dia tutup dengan pesan singkat ini:
"Bro, hidup adalah sebuah rangkaian panjang untuk menikmati proses perjuangan. Dan perjuangan yang paling nikmat adalah ketika kita tahu, kita sedang berlelah-lelah menuju keridhaan Allah."
Salam salut, jagoan!
Semoga pertanyaanku, "jadi, kapan nikah?" segera menemukan jawabannya. Biar kau tak kedinginan di belanda sana.
Maturnuwun mas @hikmatyarabdul

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mati karena sesuai dengan kebiasaannya

ILMU TERBAGI MENJADI DUA (ILMU DHARURI DAN ILMU NAZHARI)

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA