Puasa Ramadan; Wasilah Meraih Taqwa

Mutiara Ar-Risalah Juli 2014


“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu. Mudah-mudahan kamu bertaqwa.” (QS Al Baqarah : 183 )
Terdapat tujuan besar yang Allah tawarkan di balik itu semua. La'allakum tattaqun, semoga kamu bertaqwa. "Terdapat sebuah ghayah (tujuan) yang sangat besar." ungkap Sayyid Qutb dalam kitabnya Fii Zhilalul Qur'an. Ghayah tersebut adalah 'ketaqwaan', karena ketaqwaan yang menuntun hati seseorang sampai ia dengan suka rela mengerjakan puasa.
Saat menafsirkan akhir ayat ini, syeikh Muhammad Ali Sais menjelaskan ada beberapa penafsiran ulama terhadap kalimat la'allakum tattaqun ini :
Pertama, "Puasa mewariskan ketaqwaan, karena dengan puasa engkau bisa mengendalikan syahwat, mengalahkan hawa nafsu, menahan dirinya dari segala tindakan keji dan mengurangi kelezatan dunia."
Kedua, "Dengan mengerjakan puasa engkau harus menguatkan harapan/tekad (raja') untuk bertaqwa."
Ketiga, "Semoga engkau bertaqwa kepada Allah dengan ibadah puasa tersebut, dengan meninggalkan syawatmu". Terakhir beliau mengatakan bahwa ketiga penafsiran ini maknanya saling mendekati satu sama lain.
State of point dari ketiga penafsiran ini adalah satu kata kunci 'Taqwa'. Puasa merupakan wasilah seorang mukmin agar ia bisa meraih gelar taqwa tersebut.
Lalu, apakah semua yang berpuasa bisa mendapatkannya? Tentu tidak.
Hal ini dapat dilihat dari kondisi riil di lapangan yang menunjukkan bahwa tidak setiap orang yang mengerjakan puasa bisa bertaqwa kepada Allah swt. Artinya, bukan jaminan taqwa bagi semua orang yang berpuasa.
Karena itu ayat ini menggunakan lafaz la'alla, yang fungsinya adalah untuk tarajjy, atau harapan untuk sesuatu yang disukai dan disenangi. Begitu juga halnya dengan ketaqwaan, ia merupakan dambaan setiap mukmin walaupun tidak semua bisa mencapainya.
Momentum Ramadhan merupakan salah satu batu loncatan untuk meraih ketaqwaan. Dengan berpuasa seseorang akan sangat berhati-hati dengan segala tindakannya, baik besar maupun kecil. Puasa juga merupakan cara untuk membentengi diri dari segala larangan Allah. Pantas saja Rasulullah saw menganjurkan para pemuda memperbanyak puasa, terkhusus bagi yang belum mampu menikah. Karena ia merupakan wija' (benteng diri) bagi yang mengamalkannya. Benteng dari segala perbuatan dosa dan benteng dari segala bentuk godaan untuk mengerjakan dosa.
Karena kita menyadari bahwa perut yang terisi penuh selalu mendorong pemenuhan syahwat dan kenikmatan duniawi lainnya, sementara perut yang kosong akan menghalagi tuntutan tersebut. Sehingga pikiran orang yang berpuasa senantiasa terhubung dengan Allah swt, dan di sini lah taqwa tersebut bermula.
Terkadang sebuah kenikmatan akan sangat terasa keberadaannya ketika Allah swt mencabut nikmat tersebut dari hambaNya, sehingga mereka menjadi bersyukur dengan keberadaan nikmat tersebut. Hal ini senada dengan pesan Allah di akhir ayat 185 surat Al Baqarah, "Agar kamu bersyukur.
Banyak momentum penting yang terjadi di bulan Ramadhan. Turunnya Al Qur'an, malam Lailatul Qadar, kemenangan pertama umat Islam di perang Badar, penaklukan kota Mekkah dan rentetan kesuksesan umat Islam setelahnya. Kemenangan dan prestasi luar biasa tersebut hanya akan mampu digapai oleh orang-orang yang bertaqwa. Dan kenyataannya, puasa adalah salah satu wasilah untuk mencapai derajat tersebut.
Sepatutnya kita perlu banyak-banyak bersyukur, karena masih diizinkan berjumpa kembali dengan Ramadhan tahun ini. Belum tentu Ramadhan tahun depan bisa kembali kita temui dalam keadaan hidup seperti saat ini. Semoga kita termasuk hamba yang dianugerahkan nikmat ketaqwaan dengan menjalan ibadah puasa di bulan Ramadhan ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mati karena sesuai dengan kebiasaannya

ILMU TERBAGI MENJADI DUA (ILMU DHARURI DAN ILMU NAZHARI)

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA