TAFSIR AL AZHAR (BUYA HAMKA) I


Asy Syams 1 – 8



Di sini Tuhan Allah mengambil persumpahan dengan beberapa makhluk yang Dia ciptakan, yang samasekali itu adalah makhluk besar jika dibandingkan dengan kejadian manusia. Mula sekali di Surat ini Tuhan bersumpah dengan matahari, dan matahari pula yang menjadi nama Surat ini; “Demi matahari dan cahaya siangnya.” (ayat 1).

Karena apabila matahari telah mulai terbit, kian lama dia akan kian tinggi dan kian memancar pulalah cahaya siangnya. Maka terasalah betapa sangkut=pautnya kehidupan manusia dengan cahaya matahari di siang hari itu.

Dalam ayat ini ada disebut waktu Dhuha, yaitu sejak matahari mulai beransur panas, sampai matahari di pertengahan langit. Waktu itu disebut waktu Dhuha. Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsir Juzu’ ‘ammanya mengatakan bahwa matahari dijadikan persumpahan oleh Tuhan agar kita perhatikan terbitnya dan terbenamnya, karena dia adalah makhluk Tuhan yang besar dan dahsyat. Dan Tuhan ambil pula cahaya siangnya jadi persumpahan karena cahaya itulah sumber kehidupan dan penerang mencari petunjuk dalam alam ciptaan Tuhan yang luas ini. Di mana engkau akan dapat hidup kalau cahaya matahari tak menerangi? Dan di mana engkau akan dapat melihat sesuatu yang tumbuh dan berkembang? Bahkan di mana engkau dapat mengetahui dirimu sendiri, kalau tak ada cahaya Sang Surya?

“Demi bulan apabila dia mengikutinya.” (ayat 2). Yang dimaksud bulan mengikuti matahari ini ialah di saat-saat bulan mencapai purnamanya, sejak 13 haribulan sampai 16 haribulan. Waktu itulah bulan penuh sebagaimana adanya kelihatan dari muka bumi, sehingga malam pun mendapat sinaran dari bulan sepenuhnya sejak matahari terbenam sampai fajar menyingsing. Oleh sebab itu persumpahan Ilahi tertuju di sini bukan semata kepada bulannya, tetapi terutama lagi kepada perbandingan cahayanya dengan cahaya matahari. Bukanlah maksud ayat ini bahwa bulan sendirilah yang mengikuti matahari, sebab sebagai tersebut di dalam Surat 36, Yaa-Siin ayat 40 perjalanan bulan itu jauh lebih cepat dari perjalanan matahari, sehingga “Tidaklah selayaknya matahari menukar bulan”, sebab perjalanan matahari itu lebih lambat (365 hari edaran satu tahun) dan bulan lebih cepat (354 hari dalam setahun).
“Demi siang apabila menampakkannya.” (ayat 3). Artinya, apabila hari telah pertambah siang, bertambah nampak jelaslah matahari itu, bahkan adanya matahari yang jelas itulah yang menyebabkan adanya siang. Karena di waktu itulah matahari yang memancarkan cahaya itu menjadi lebih jelas. Sehingga jelaslah dalam ayat ini betapa pentingnya cahaya itu bagi seluruh alam dalam kekeluargaan matahari, terutama di muka bumi kita ini. Dan kepentingan perhatian kita di hadapan cahaya itu bertambah lagi karena ayat yang berikutnya; “Demi malam apabila menutupinya.” (ayat 4). Karena bila matahari telah terbenam datanglah malam. Malam ialah saat-saat berpengaruhnya kegelapan, karena matahari tidak kelihatan lagi. Dan kegelapan malam itu mempengaruhi kepada urat-urat saraf kita. Dengan datangnya malam, yang matahari laksana tersimpan dahulu, kita pun dapat beristirahat menunggu matahari terbit pula.

“Demi langit dan apa yang mendirikannya.” (ayat 5). Setelah diambil perhatian kita kepada matahari, bulan dan siang dan malam, pada yang kelima diperingatkanlah keindahan langit itu sendiri, dan apa atau siapakahyang membina langit yang demikian indah, yang kadang-kadang dinamai “gubah hijau”, demi indah permainya di siang hari ketika awan beriring ke tepi, bukan berarak ke tengah. Dan lebih indah lagi bila kelihatan di malam hari dengan hiasan bintang-bintang, tidak pernah membosankan mata memandang, lebih-lebih lagi mereka yang berperasaan halus.

“Demi bumi dan apa yang menghamparkannya.” (ayat 6). Kelihatan pula keindahan bumi dengan lautan dan daratannya, gunung dan ganangnya, danau dan tasiknya, rimba dan padang belantaranya. Kayu-kayuannya, rumput-rumputannya, binatang-binatangnya, ikannya di laut, ternaknya di padang. Sebagai ayat 5 tentang langit, perhatian pun ditarik untuk memperhatikan apa yang menghamparkan bumi itu begitu indah, dengan padang saujananya yang serenjana mata memandang. Alangkah dahsyatnya kejadian bumi itu, apakahagaknya, atau siapakah yang menghamparkannya sehingga manusia dapat hidup di dalam bumi terhampar itu? Di kedua ayat ini, ayat lima dan ayat enam; dikatakan apa untuk mencari siapa!

Untuk menegaskan dari apa kepada siapa, datanglah ayat selanjutnya; “Demi sesuatu diri dan apa yang menyempurnakannya.” (ayat 7). Atau sesuatu jiwa, yang dimaksud ialah peribadi seorang Insan, termasuk engkau, termasuk aku. Sesudah kita disuruh memperhatikan matahari dan bulan, siang dan malam, langit dan bumi dan latarbelakang segala yang nyata itu, yang di dalam filsafat dinamai fisika, kita disuruh mencari apa metafisikanya, sampai hendaknya kita menginsafi bahwa segala-galanya itu mustahil terjadi dengan sendirinya. Semuanya teratur, mustahil tidak ada yang mengatur. Untuk sampai kesana, sesudah melihat alam keliling, hendaklah kita melihat diri sendiri; Siapakah AKU ini sebenarnya? Aku lihat matahari dan bulan itu, siang dan malam itu, langit dan bumi itu, kemudian aku fikirkan; “Aku yang melihat ini sendiri siapakah adanya?” Mula-mula yang kita dapati ialah; “Aku Ada!” bukti bahwa aku ini ADA ialah karena aku berfikir. Aku Ada, karena aku bertanya. Sesudah Aku yakin akan ADAnya aku, datanglah pertanyaanku terakhir; ”secara kebetulankah AKU ADA ini? Secara kebetulankah aku ini berfikir? Dan apa artinya AKU ADA ini? Siapakah yang aku? Apakah tubuh kasar ini, yang dinamai fisika pula. Kalau hanya semata-mata tubuh kasar ini yang aku, mengapa waktu berhenti bernafas dan orang pun mati? Dan barulah sempurna hidupku karena ada gabungan pada diriku ini di antara badan dan nyawa. Dan nyawa itu pun adalah sesuatu yang metafisika, di luar kenyataan! Maka lanjutlah pertanyaan! Apa dan siapakah yang menyempurnakan kejadianku itu?”

Di sinilah kita mencari Tuhan Maha Pencipta, setelah kita yakin akan adanya diri kita. Di sinilah terletak pepatah terkenal:
“Barang siapa yang telah mengenal akan dirinya, niscaya akan kenallah dia kepada Tuhannya.”

Sedangkan diri sendiri lagi menjadi suatu persoalan besar, apakah lagi persoalan tentang mencari hakekat Tuhan. Maka akan nyatalah dan jelaslah Tuhan itu pada matahari dengan cahaya siangnya, bulan ketika mengiringinya, siang ketika menampakkannya, malam ketika menutupinya, langit yang jelas betapa kokoh pendiriannya dan bumi yang jelas betapa indah penghamparannya; akhirnya diri kita sendiri dengan serba-serbi keajaibannya.
“Maka menujukkanlah Dia.” (pangkal ayat 8). Dia, yaitu Tuhan yang mendirikan langit menghamparkan bumi dan menyempurnakan kejadian Insan. Diberi-Nya Ilham diberi-Nya petunjuk “kepadanya.” Artinya kepada diri Insan tadi; “Akan kejahatannya dan kebaikannya.” (ujung ayat 8).

Diberilah setiap diri itu Ilham oleh Tuhan, mana jalan yang buruk, yang berbahaya, yang akan membawa celaka supaya janganlah ditempuh, dan bersamaan dengan itu diberinya pula petunjuk mana jalan yang baik, yang akan membawa selamat dan bahagia dunia dan akhirat.

Artinya, bahwa setiap orang diberi akal buat menimbang, diberikan kesanggupan menerima Ilham dan petunjuk. Semua orang diberitahu mana yang membawa celaka dan mana yang akan selamat. Itulah tanda cinta Allah kepada hamba-Nya. Di Surat Al-Balad yang baru lalu pada ayat 10 dikatakan juga:
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan mendaki.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mati karena sesuai dengan kebiasaannya

ILMU TERBAGI MENJADI DUA (ILMU DHARURI DAN ILMU NAZHARI)

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA