"Wanita shalat berjama'ah berjama'ah di masjid apakah pahalanya 27 derajat?"


Jawaban :
"Shalat berjama’ah bagi Wanita Tidaklah Wajib"
Shalat berjama’ah tidaklah wajib bagi wanita dan ini berdasarkan kesepatakan para ulama (jumhur) kaum muslimin. Akan tetapi shalat berjama’ah tetap dibolehkan (mubah) bagi wanita –secara global- menurut mayoritas para ulama.
Syaikh Shalih al-Fauzan –hafizhahullah- ketika ditanya apakah wanita wajib mengerjakan shalat secara berjama’ah setiap melaksanakan shalat fardlu?
Beliau –hafizhahullah- menjawab,
“Wanita tidak wajib melaksanakan shalat secara berjama’ah. Shalat bejama’ah hanya wajib bagi laki-laki. Adapun para wanita, mereka tidak wajib mengerjakan shalat secara berjama’ah. Akan tetapi boleh (mubah) atau mungkin dianjurkan (sunat) bagi mereka melaksanakan shalat secara berjama’ah dengan imam di antara mereka (para wanita).
Namun sebagaimana yang kami katakan bahwa imam mereka berdiri di antara shaf yang ada (bukan maju ke depan)” (Fatawa al-Mar`ah al-Muslimah, hal. 103, Dar Ibnul-Haitsam).
> Shalat Berjama’ah Wanita Bersama Wanita Lainnya
Ini dibolehkan berdasarkan tiga alasan:
1. Berdasarkan keumuman hadits yang menceritakan keutamaan shalat berjama’ah. Dan asalnya, wanita memiliki hukum yang sama dengan laki-laki sampai ada dalil yang membedakannya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنما النساء شقائق الرجال
“Wanita adalah bagian dari pria.” (Musnad Ahmad, Sunan Abi Dawud dan Sunan at-Tirmidzi. Syaikh al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Maksudnya adalah shalat berjama’ah bersama wanita tetap dibolehkan sebagaimana pria berjama’ah dengan sesama pria.
2. Tidak ada larangan mengenai shalat wanita bersama wanita lainnya.
3. Hal ini juga pernah dilakukan oleh beberapa shahabiyah wanita seperti Ummu Salamah dan ‘Aisyah radliyallahu ‘anhuma (Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, 509).
Dari Raithah al-Hanafiyah, dia mengatakan:
أن عائشة أمتهن وقامت بينهن في صلاة مكتوبة
“’Aisyah dulu pernah mengimami para wanita dan beliau berdiri (sejajar) dengan mereka ketika melaksanakan shalat wajib.” (Mushannaf ‘Abdurrazzaq, ad-Daruquthni, Mustadrak al-Hakim dan Sunan al-Baihaqi. An-Nawawi mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Namun hadits ini dilemahkan/ didla’ifkan oleh Syaikh al-Albani, namun dia memiliki penguat dari hadits Hujairah binti Husain. Tamamul Minnah, hal. 154).
Begitu juga hal yang sama dilakukan oleh Ummu Salamah. Dari Hujairah binti Husain, dia mengatakan:
أمتنا أم سلمة في صلاة العصر قامت بيننا
“Ummu Salamah pernah mengimami kami (para wanita) ketika shalat Ashar dan beliau berdiri di tengah-tengah kami.” (Mushannaf Abdurrazzaq, Ibn Abi Syaibah, Sunan al-Baihaqi. Riwayat ini memiliki penguat dari riwayat lainnya dari jalur Qatadah dari Ummul-Hasan).
Ummul-Hasan juga pernah melihat Ummu Salamah –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengimami para wanita (dan Ummu Salamah berdiri) di shaf mereka. (Atsar ini adalah atsar yang bisa diamalkan sebagaimana kata Syaikh al-Albani dalam Tamamul-Minnah, hal. 504).
Ada pula ulama yang menganjurkan shalat berjama’ah bagi wanita dengan sesama mereka berdasarkan hadits dalam riwayat Abu Daud dalam Bab “Wanita sebagai imam”,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَزُورُهَا فِى بَيْتِهَا وَجَعَلَ لَهَا مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ لَهَا وَأَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا. قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَأَنَا رَأَيْتُ مُؤَذِّنَهَا شَيْخًا كَبِيرًا.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengunjungi Ummu Waraqah di rumahnya. Dan beliau memerintahkan seseorang untuk adzan. Lalu beliau memerintah Ummu Waraqah untuk mengimami para wanita di rumah tersebut.”
‘Abdurrahman (Ibn Khallad) mengatakan bahwa yang mengumandangkan adzan tersebut adalah seorang pria tua.” (Sunan Abi Dawud. Syaikh al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Pelajaran penting:
Dalam shalat berjama’ah jika yang melaksanakannya adalah sesama wanita dan salah satu wanita menjadi imam, maka yang menjadi imam berdiri di tengah-tengah shaf (sejajar) dan bukan maju ke depan.
> Shalat Berjama’ah Wanita Bersama Pria
Hal ini dibolehkan bagi wanita, baik wanita itu sendiri sebagai ma`mum atau bersama ma`mum wanita lainnya atau dia berada di belakang jama’ah pria. Hal ini berdasarkan banyak dalil di antaranya adalah hadits dari Anas.
Anas mengatakan,
“Aku shalat bersama seorang anak yatim di rumah kami secara berjama’ah di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ibuku –yakni Ummu Salamah (nama aslinya adalah Rumaysho)- berada di belakang kami.” (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim).
Begitu juga terdapat hadits dari Ummu Salamah. Dia mengatakan,
“Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam, ketika itu para wanita pun berdiri. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tetap berada di tempatnya beberapa saat.” (Shahih al-Bukhari).
> Tidak Dibolehkan Wanita yang Bukan Mahram Berma`mum di Belakang Seorang Pria
Kalau seorang wanita berma`mum di belakang suami atau yang masih mahram dengannya, ini dibolehkan karena tidak ada ikhtilath yaitu campur baur yang terlarang di antara pria dan wanita karena masih mahram.
Namun jika wanita tersebut berma`mum sendirian di belakang imam yang bukan mahram tanpa ada jama’ah wanita atau pria lainnya, maka ini terlarang.
Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahramnya. (Musnad Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib al-Arnauth mengatakan hadits ini shahih lighairihi).
Namun boleh jika ada wanita yang lain, sedangkan imamnya sendiri tanpa ada jama’ah pria karena pada saat ini sudah tidak ada fitnah (godaan dari wanita). Akan tetapi, jika masih ada fitnah, tetap hal ini tidak dibolehkan (Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, 510).
> Yang Lebih Baik Bagi Wanita Adalah Shalat Di Rumahnya
Wanita tetap diperkenankan (mubah) mengerjakan shalat berjama’ah di masjid, namun shalat wanita lebih baik (sunnah-nya) adalah di rumahnya.
Dari Ibn ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian melarang istri-istri kalian untuk ke masjid, namun shalat di rumah mereka (para wanita) tentu lebih baik (sunnah).” (Sunan Abi Dawud. Syaikh al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
> 3 Syarat yang Harus Dipenuhi Wanita Jika Ingin Melakukan Shalat Berjama’ah Di Masjid
Pertama, minta izin kepada suami atau mahram terlebih dahulu dan hendaklah suami tidak melarangnya.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ إِلَى الْمَسَاجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ
“Jika istri kalian meminta izin pada kalian untuk ke masjid, maka izinkanlah mereka.” (Shahih Muslim).
Imam an-Nawawi membawakan hadits ini dalam Bab “Keluarnya wanita ke masjid, jika tidak menimbulkan fitnah dan selama tidak menggunakan harum-haruman (parfum).”
Bahkan tidak boleh seseorang menghalangi wanita atau istrinya ke masjid sebagaimana dapat dilihat dalam kisah berikut.
Lihatlah kisah Bilal Ibn Abdullah Ibn ‘Umar dengan ayahnya berikut.
Dalam Shahih Muslim no. 442 dari jalan Salim Ibn Abdullah Ibn Umar bahwasanya Abdullah Ibn ‘Umar berkata,
“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا
“Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin pada kalian maka izinkanlah dia.”
Kemudian Bilal Ibn Abdullah Ibn ‘Umar mengatakan,
وَاللَّهِ لَنَمْنَعُهُنَّ
“Demi Allah, sungguh kami akan menghalangi mereka.”
Lalu Abdullah Ibn ‘Umar mencaci Bilal dengan cacian yang keras yang aku belum pernah mendengar sama sekali cacian seperti itu dari beliau. Kemudian Ibn Umar mengatakan,
“Aku mengabarkan padamu hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu engkau katakan, ‘Demi Allah, kami akan mengahalangi mereka!!’
Kedua, tidak boleh menggunakan harum-haruman (parfum) dan perhiasan yang dapat menimbulkan fitnah.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا فَلاَ تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاءَ الآخِرَةَ
“Wanita mana saja yang memakai harum-haruman (parfum), maka janganlah dia menghadiri shalat Isya’ bersama kami.” (Shahih Muslim).
Zainab -istri ‘Abdullah- mengatakan bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada para wanita,
إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلاَ تَمَسَّ طِيبًا
“Jika salah seorang di antara kalian ingin mendatangi masjid, maka janganlah memakai harum-haruman.” (Shahih Muslim).
Ketiga, jangan sampai terjadi ikhtilath (campur baur yang terlarang antara pria dan wanita) ketika masuk dan keluar dari masjid.
Dalilnya adalah hadits dari Ummu Salamah:
كان رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا سلم قام النساء حين يقضي تسليمه ويمكث هو في مقامه يسيرا قبل أن يقوم . قال نرى – والله أعلم – أن ذلك كان لكي ينصرف النساء قبل أن يدركهن أحد من الرجال
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam salam dan ketika itu para wanita pun berdiri. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tetap berada di tempatnya beberapa saat sebelum dia berdiri. Kami menilai –wallahu a’lam- bahwa hal ini dilakukan agar wanita terlebih dahulu meninggalkan masjid supaya tidak berpapasan dengan kaum pria.” (Shahih al-Bukhari).
Dengan demikian wanita apabila shalat berjama'ah di masjid tetap in sya Allah mendapat pahala 27 derajat sebagaimana pahala laki-laki yang berjama'ah di masjid.
Namun dalam segi tempat lebih dianjurkannya berjama'ah di rumah dengan keluarganya yang perempuan. Kecuali tentunya jika di rumah tidak ada teman wanita shalat berjama'ah, maka lebih baik shalat berjama'ah di masjid dengan tetap memperhatikan syarat shalat berjama'ah bagi wanita ketika di masjid.
Wal-'llahu a'lam bis-shawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mati karena sesuai dengan kebiasaannya

ILMU TERBAGI MENJADI DUA (ILMU DHARURI DAN ILMU NAZHARI)

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA