MASUK SURGA TANPA HISAB Hadits Tentang 70.000 Orang Yang Masuk Surga Tanpa Hisab (terakhir)


Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata mengomentari sanad hadits ini: “Sanadnya jayyid (bagus)”. Mereka itu adalah orang-orang yang:

a. Tidak minta diruqyah.
Demikianlah yang ada dalam shahihain. Juga pada hadits Ibnu Mas’ud radhiyallâhu’anhu dalam musnad Imam Ahmad rahimahullâh. Sedangkan dalam riwayat Imam Muslim (وَلاَ يَرْقُوْنَ ) artinya yang tidak meruqyah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata “Ini merupakan lafadz tambahan dari prasangka rawi dan Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam tidak bersabda (وَلاَ يَرْقُوْنَ ) karena Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam pernah ditanya tentang ruqyah, lalu beliau menjawab:

“Barangsiapa diantara kalian mampu memberi manfaat kepada saudaranya, maka berilah padanya manfaat” dan bersabda: “Boleh menggunakan ruqyah selama tidak terjadi kesyirikan padanya.”

Ditambah lagi dengan amalan Jibril ‘alaihissalam yang meruqyah Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam dan Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam meruqyah shahabat-shahabatnya. Beliaupun menjelaskan perbedaan antara orang yang meruqyah dengan orang yang meminta diruqyah: “Mustarqi (orang yang meminta diruqyah) adalah orang yang minta diobati, dan hatinya sedikit berpaling kepada selain Allâh. Hal ini akan mengurangi nilai tawakkalnya kepada Allâh. Sedangkan arrâqi (orang yang meruqyah) adalah orang yang berbuat baik.”

Beliau berkata pula: “Dan yang dimaksud sifat golongan yang termasuk 70 ribu itu adalah tidak meruqyah karena kesempurnaan tawakkal mereka kepada Allâh dan tidak meminta kepada selain mereka untuk meruqyahnya serta tidak pula minta di kay.” Demikian pula hal ini disampaikan Ibnul Qayyim.

b. Tidak Minta di kay (وَلاَ يَكْتَوُوْنَ)
Mereka tidak minta kepada orang lain untuk mengkay sebagaimana mereka tidak minta diruqyah. Mereka menerima qadha’ dan menikmati musibah yang menimpa mereka.

Syaikh Abdurrahman bin Hasan Ali Syaikh berkata: “Sabda Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam (لاَ يَكْتَوُوْنَ) lebih umum dari pada sekedar minta di kay atau melakukannya dengan kemauan mereka.

Sedangkan hukum kay sendiri dalam Islam tidak dilarang, sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Jabir bin Abdullah:

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم بَعَثَ إِلَى أُبَيِّ ابْنِ كَعْبٍ طَبِيْبًا فَقَطَّعَ لَهُ عرقًا وَكَوَّاهُ بِالنَّارِ

Bahwa Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam mengutus seorang tabib kepada Ubay bin Ka’ab, lalu dia memotong uratnya dan meng-kay-nya.

Demikan juga di jelaskan dalam shahih Bukhari dari Anas radhiyallâhu’anhu :

Anas berkata, “Bahwasanya aku mengkay bisul yang ke arah dalam sedangkan Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam masih hidup.”

Dan dalam riwayat dari Tirmidzi dan yang lainnya dari Anas:

Sesungguhnya Nabi mengkay As’ad bin Zurarah karena sengatan kalajengking juga dalam shahih Bukhari dari Ibnu Abbas secara marfu’:

اَلشِّفَاءُ فِى الثَّلاَثَةِ : شُرْبَةُ عَسَلٍ وَشرْطَةُ مِحْجَمٍ وَكَيَّةٍ بِالنَّارِ وَأَنَا أَنْهَى أُمَّتِي عَنِ الْكَيِّ

“Pengobatan itu dengan tiga cara yaitu dengan berbekam, minum madu dan kay dengan api dan saya melarang umatku dari kay. (Dalam riwayat yang lain: “Dan saya tidak menyukai kay”).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits-hadits tentang kay itu mengandung empat hal yaitu:

1). Perbuatan Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi wa sallam. Hal itu menunjukkan bolehnya melakukan kay.
2) .Rasulullah tidak menyukainya. Hal itu tidak menunjukkan larangan.
3). Pujian bagi orang yang meninggalkan. Menunjukkan meninggalkan kay itu lebih utama dan lebih baik.
4). Larangan melakukan kay. Hal itu menunjukkan jalan pilihan dan makruhnya kay.

c. Tidak Melakukan Tathayyur

Mereka tidak merasa pesimis, tidak merasa bernasib sial atau buruk karena melihat burung atau binatang yang lainnya.

4. Mereka Bertawakal Kepada Allâh
Disebutkan dalam hadits ini, perbuatan dan kebiasaan itu bercabang dari rasa tawakkal dan berlindung serta bersandar hanya kepada Allâh. Hal tersebut merupakan puncak realisasi tauhid yang membuahkan kedudukan yang mulia berupa mahabbah (rasa cinta), raja’ (pengharapan), khauf (takut) dan ridha kepada Allâh sebagai Rabb dan Ilah serta ridha dengan qadha’-Nya.

Ketahuilah makna hadits di atas tidak menunjukkan bahwa mereka tidak mencari sebab sama sekali. Karena mencari sebab (supaya sakitnya sembuh) termasuk fitrah dan sesuatu yang tidak terpisah darinya.

Allâh Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allâh, maka Allâh akan
cukupi segala kebutuhannya.”
[QS Ath-Thalaq: 3]

Mereka meninggalkan perkara-perkara (ikhtiyar) makruh walaupun mereka sangat butuh dengan cara bertawakkal kepada Allâh. Seperti kay dan ruqyah, mereka meninggalkan hal itu karena termasuk sebab yang makruh. Apalagi perkara yang haram.

Adapun mencari sebab yang bisa menyembuhkan penyakit dengan cara yang tidak dimakruhkan, maka tidak membuat cacat dalam tawakkal.

Dengan demikian kita tidaklah meninggalkan sebab-sebab yang disyari’atkan, sebagaimana dijelaskan dalam shahihain dari Abu Hurairah Radhiyallâhu’anhu secara marfu’.

”Tidaklah Allâh menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan obat untuknya, mengetahui obat itu orang yang mengetahuinya dan tidak tahu obat itu bagi orang yang tidak mengetahuinya.”

Dari Usamah bin Syarik dia berkata: Suatu ketika saya di sisi Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam, datanglah orang Badui dan mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami saling mengobati?”
Beliau menjawab: “Ya, wahai hamba-hamba Allâh saling mengobatilah, sesungguhnya Ta’ala tidaklah menimpakan sesuatu kecuali Dia telah meletakkan obat baginya, kecuali satu penyakit saja, yaitu pikun.”
[HR. Ahmad]
Berkata Ibnu Qoyyim rahimahullah: Hadits-hadits ini mengandung penetapan sebab dan akibat, dan sebagai pembatal perkataan orang yang mengingkarinya.

Perintah untuk saling mengobati tidak bertentangan dengan tawakkal. Sebagaimana menolak lapar dan haus, panas dan dingin dengan lawan-lawannya (misalnya lapar dengan makan). Itu semua tidak menentang tawakkal. Bahkan tidaklah sempurna hakikat tauhid kecuali dengan mencari sebab yang telah Allâh Ta’ala jadikan sebab dengan qadar dan syar’i. Orang yang menolak sebab itu malah membuat cacat tawakkalnya.

Hakikat tawakal adalah bersandarnya hati kepada Allâh Ta’ala kepada perkara yang bermanfaat bagi hamba untuk diri dan dunianya. Maka bersandarnya hati itu harus diimbangi dengan mencari sebab. Kalau tidak berarti ia menolak hikmah dan syari’at. Maka seseorang hamba tidak boleh menjadikan kelemahannya sebagai tawakkal dan tidaklah tawakkal sebagai kelemahan.

Para ulama berselisih dalam masalah berobat, apakah termasuk mubah, lebih baik ditinggalkan atau mustahab atau wajib dilakukan? Yang masyhur menurut Imam Ahmad adalah pendapat pertama, yaitu mubah dengan dasar hadits ini dan yang semakna dengannya.

Sedangkan pendapat yang menyatakan lebih utama dilakukan adalah madzhab Syafi’i dan jumhur salaf dan khalaf serta al-Wazir Abul Midhfar, Demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim. Sedangkan Madzhab Abu Hanifah menguatkan sampai mendekati wajib untuk berobat dan Madzhab Imam Malik menyatakan sama saja antara berobat dan meninggalkannya, sebagaimana disampaikan oleh Imam Malik: “Boleh berobat dan boleh juga meninggalkannya.”

Dalam permasalahan ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Tidaklah wajib menurut jumhur para imam, sedangkan yang mewajibkan hanyalah sebagian kecil dari murid Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.”

5. Kisah ‘Ukasyah bin Mihshan ‘Ukasyah
‘Ukasyah bin Mihshan ‘Ukasyah meminta kepada Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam supaya mendo’akannya masuk dalam golongan orang yang masuk surga tanpa hisab dan adzab.

Lalu Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam menjawab: “Engkau termasuk dari mereka.” Sebagaimana dalam riwayat Bukhari beliau berdo’a: “Ya Allâh jadikanlah dia termasuk mereka.”

Dari sini diambil sebagai dalil dibolehkan minta do’a kepada orang yang lebih utama. Kemudian temannya yang tidak disebutkan namanya meminta Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam mendo’akannya pula, tapi Rasullullah SalAllâhu ‘Alaihi Wassalam menjawab: “Engkau telah didahului ‘Ukasyah.”

Berkata Al-Qurthubi: “Bagi orang yang kedua keadaanya tidak seperti ‘Ukasyah, oleh karena itu permintaannya tidak dikabulkan, jika dikabulkan tentu akan membuka pintu orang lain yang hadir untuk minta dido’akan dan perkara itu akan terus berlanjut. Dengan itu beliau menutup pintu tersebut dengan jawabannya yang singkat. Berkata Syaikh Abdirrahman bin Hasan Alu Syaikh: “Didalamnya terdapat penggunaan ungkapan sindiran oleh Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam dan keelokkan budi pekerti Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam.”

FAIDAH-FAIDAH HADITS:

1). Beramal dengan berdasarkan dalil yang ada.
2). Umat-umat telah ditampakkan kepada Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam.
3). Setiap umat dikumpulkan sendiri-sendiri bersama nabinya.
4). Kebenaran itu tidak dilihat pada banyaknya pengikut tetapi kualitasnya.
5). Keistimewaan umat Islam dengan kualitas dan kuantitasnya.
6). Diperbolehkan melakukan ruqyah karena terkena ain dan sengatan.
7). Di dalam hadits terdapat penjelasan manhaj salaf. Hal ini dapat dipahami dari perkataan Sa’id bin Jubair: “Sungguh telah berbuat baik orang yang mengamalkan hadits yang telah ia dengar.” Dengan demikian jelaslah bahwa hadits yang pertama tidak bertentangan dengan hadits kedua.
8). Tidak minta diruqyah (tidak meminta supaya lukanya ditempel dengan besi yang dipanaskan) dan tidak melakukan tathayyur adalah termasuk pengamalan tauhid yang benar.
9). Sikap tawakkal kepada Allâh lah yang mendasari sikap tersebut
10). Dalamnya ilmu para shahabat. Karena mereka mengetahui orang yang dinyatakan dalam hadits tersebut tidak dapat mencapai derajat dan kedudukan yang demikian kecuali dengan amalan.
11). Gairah dan semangat para sahabat untuk berlomba-lomba mengerjakan amal kebaikan.
12). Golongan yang masuk surga tanpa hisab dan adzab adalah yang tidak minta diruqyah, dikay dan tidak melakukan tathayyur serta bertawakkal kepada Rabb dengan sempurna.
13). Sabda Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam : “Kamu termasuk golongan mereka,” adalah salah satu tanda kenabian beliau.
14). Keutamaan ‘Ukasyah
15). Penggunaan kata sindiran: “Kamu sudah kedahuluan ‘Ukasyah.” Tidak berkata: “Kamu tidak pantas untuk dimasukkan ke golongan mereka.”
16). Keelokkan budi pekerti Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam

[Disadur dari: Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid (hal 54-62) karya Syaikh Abdir Rohman bin Hasan Alu Syaikh]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mati karena sesuai dengan kebiasaannya

ILMU TERBAGI MENJADI DUA (ILMU DHARURI DAN ILMU NAZHARI)

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA