Ruhshah shalat jumat bagi yang telah shalat id

Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fitri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan.” (HR. Abu Daud no. 1070, An-Nasai no. 1592, dan Ibnu Majah no. 1310. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan

Dari seorang tabi’in bernama ‘Atha’ bin Abi Rabbah, ia berkata,
صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِى يَوْمِ عِيدٍ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ.
“Ibnu Az-Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Az-Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thaif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan ajaran Nabi (ashobas sunnah).” (HR. Abu Daud no. 1071. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih). Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah (menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

1. Tidak jumatan bukan keharusan tapi hanya boleh saja, sehingga bagi yang ingin jumatan maka silahkan atau bisa menjadi sunnah, yang tidak ingin jumatan maka boleh shalat dzuhur di rumah masing-masing, baik munfarid maupun berjama'ah.

2. Pilihan ini Umum, bagi musafir maupun bukan, karena kaitannya adalah ikut shalat Ied atau tidak.

3. Bagi musafir maka punya dua keringanan untuk tidak jumatan, lalu diganti dengan shalat dzuhur, pertama karena dia sudah shalat Ied, kedua karena dia musafir, bagi musafir boleh tidak jumatan, baik karena sudah shalat Ied maupun tidak,
seperti hari biasa.

4. Namun tafsiran tidak shalat dzuhur diperselisihkan oleh para ulama dan jumhur menganggap penafsiran tersebut keliru.

Pendapat pertama , kewajiban Jum’at tidaklah gugur terhadap siapa saja yang telah menghadiri shalat Id. Ini adalah pendapat Imam Malik, Abu Hanifah, Ibnul Mundzir, dan Ibnu Hazm. Ibnu Qudâmah menyebutnya sebagai pendapat kebanyakan ahli fiqih.
Pendapat kedua, shalat Jum’at tetap wajib dan hanya digugurkan untuk siapa saja yang telah menghadiri shalat Id di antara orang-orang yang tinggal di lembah, badu, dan semisalnya. Ini adalah pendapat Imam Asy-Syâfi’iy dan salah satu riwayat dari Imam Malik.
Pendapat ketiga , siapa saja yang telah menyaksikan shalat Id, gugur terhadapnya kewajiban menghadiri shalat Jum’at. Namun, imam masjid tetap wajib menegakkan shalat Jum’at agar shalat ini dihadiri oleh siapa saja yang ingin hadir. Ini adalah pendapat Asy-Sya’by, An-Nakha’iy, Al-‘Auzâ’iy, dan Ahmad bin Hanbal. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menguatkan pendapat ini seray menyebut bahwa ini adalah pendapat Umar, Utsman, Ibnu Mas’ûd, Ibnu ‘Abbâs, Ibnuz Zubair, dan kalangan shahabat yang lain. Tidaklah diketahui bahwa ada dari kalangan shahabat yang menyelisihi mereka.
Insya Allah, yang terkuat di antara tiga pendapat di atas adalah pendapat ketiga. Selain terhitung sebagai pendapat yang tidak dikenal bahwa ada di antara kalangan shahabat yang menyelisihinya, hadits-hadits dan atsar-atsar para shahabat juga lebih menguatkannya.
Di antara hadits-hadits tersebut adalah riwayat Iyâs bin Abi Ramlah Asy-Syâmy bahwa beliau berkata,
ﺷَﻬِﺪْﺕُ ﻣُﻌَﺎﻭِﻳَﺔَ ﺳَﺄَﻝَ ﺯَﻳْﺪَ ﺑْﻦَ ﺃَﺭْﻗَﻢَ : ﺷَﻬِﺪْﺕُ ﻣَﻊَ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻋِﻴﺪَﻳْﻦِ ﺍﺟْﺘَﻤَﻌَﺎ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﻧَﻌَﻢْ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟْﻌِﻴﺪَ ﺃَﻭَّﻝَ ﺍﻟﻨَّﻬَﺎﺭِ ، ﺛُﻢَّ ﺭَﺧَّﺺَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠُﻤُﻌَﺔِ ﻓَﻘَﺎﻝَ : ” ﻣَﻦْ ﺷَﺎﺀَ ﺃَﻥْ ﻳُﺠَﻤِّﻊَ ﻓَﻠْﻴُﺠَﻤِّﻊْ
“Saya menyaksikan Mu’âwiyah bertanya kepada Zaid bin Arqam, ‘Apakah, bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam , engkau menyaksikan dua Id berkumpul?’ (Zaid) menjawab, ‘Iya. Beliau melaksanakan shalat Id pada awal siang, kemudian memberi keringanan pada (shalat) Jum’at dengan berkata, ‘Siapa saja yang hendak menegakkan (shalat) Jum’at hendaknya dia menegakkan (shalat) Jum’at tersebut.’ .’.” [Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, An-Nasâ`iy, Ibnu Mâjah, dan selainnya. Iyâs bin Abi Ramlah Asy-Syâmy adalah seorang rawi yang majhûl, tetapi bisa dikuatkan dengan riwayat Abu Hurairah yang akan datang. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam Shahîh Sunan Abi Dâwud seraya menyebut bahwa hadits ini dishahihkan juga oleh Ibnul Madîny, Al-Hakim, dan Adz-Dzahaby]

Karena itu banyak ulama yang menyanggah pendapat bahwa Shalat Dzuhur gugur

Sanggahan untuk Pendapat yang Menyatakan Gugurnya Shalat Zhuhur dan Jumat Sekaligus
Pendapat Imam Asy-Syaukani
rahimahullah di atas disanggah oleh Al-‘Azhim Abadi, “Pendapat tersebut adalah pendapat yang keliru (batil) . Yang tepat sebagaimana yang dipilih oleh Al-Amir Al-Yamani (Ash-Shan’ani) dalam
Subulus Salam, begitu pula disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Muntaqa setelah menyebutkan riwayat Ibnu Zubair.” (‘ Aun Al-Ma’bud , 3: 321)
Sebagaimana diisyaratkan oleh Al-‘Azhim Abadi ada sanggahan dari Al-Amir Ash-Shan’ani. Lengkapnya Ash-Shan’ani menyanggah seperti berikut,
“Sebagaimana disebutkan bahwa Atha’ menyatakan, Ibnu Az-Zubair tidaklah keluar melaksanakan shalat Jumat. Ini bukan dalil tegas bahwa Ibnu Az-Zubair tidak mengerjakan shalat Zhuhur di rumahnya. Memastikan bahwa Ibnu Az-Zubair berpendapat bahwa shalat Zhuhur jadi gugur di hari Jumat karena telah melaksanakan shalat ied adalah pendapat yang tidak benar. Karena ada kemungkinan Ibnu Az-Zubair melaksanakan shalat Zhuhur di rumahnya. Bahkan dalam perkataan Atha’ sendiri disebutkan bahwa Ibnu Az-Zubair tidak keluar untuk melakukan shalat Jumat, namun ia melakukan shalat sendiri, tentu shalat tersebut adalah shalat Zhuhur. Jadi tidak ada yang mendukung kalau shalat Zhuhur tersebut jadi gugur.
Dalam hadits tidak disebutkan bahwa Ibnu Az-Zubair melaksanakan shalat Jumat seorang diri. Karena shalat Jumat memang harus dilaksanakan secara berjama’ah. (Sehingga yang dimaksudkan shalat seorang diri adalah shalat Zhuhur, pen.)
Lalu pendapat yang menyatakan bahwa shalat Jumat itu asalnya (pokoknya), sedangkan shalat Zhuhur hanyalah pengganti tidaklah tepat. Yang tepat adalah shalat Zhuhur itulah yang pokoknya (asalnya) karena shalat Zhuhur yang diwajibkan pada malam Isra’. Sedangkan shalat Jumat barulah belakangan diwajibkan. Ketika shalat Jumat itu luput dilakukan, berdasarkan sepakat ulama tetap wajib shalat Zhuhur. Shalat Jumat itulah pengganti dari shalat Zhuhur. Pembahasan ini ada secara tersendiri (yaitu dalam kitab Ash-Shan’ani bernama Al-Lum’ah fi Tahqiq Syaraith Al-Jum’ah , pen.).” (Subulus Salam , 3: 146)

Maka inilah khazanah para ulama yang menyertakan rujukannya, maka perdebatan haruslah dijauhi serta tidak boleh menisbahkan pada perhitungan suatu golongan, dirinya, atau yang tidak sesuai dengan nash nash syariat. Tujuan kita adalah senantiasa memperbarui iman dengan amal shalih dan saling mengingatkan apabila ada kesalahan yang menyimpang dari dalil serta membangun ukhuwwah agar menjadi umat yang selamat.

Baarakallahu fiikum

Sumber:
1.Penjelasan Ustadz Hafidz Abdurrahman
2. Dzulqarnain.net
3. Rumaysho.com

الله أعلم بالصواب

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mati karena sesuai dengan kebiasaannya

ILMU TERBAGI MENJADI DUA (ILMU DHARURI DAN ILMU NAZHARI)

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA