Menyibukkan diri dalam perkara yang bermanfaat (Nasihat 2)
syarah Al Wasail Mufidah Lil hayatis Sa’idah.
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا
مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ
يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
. “Tidak ada kebaikan pada
kebanyakan bisikanbisikan
mereka,
kecuali bisikan-bisikan dari orang
yang
menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau
berbuat ma’ruf,
atau mengadakan perdamaian di
antara
manusia. Dan barang siapa yang berbuat
Meraih
Hidup Bahagia 17
demikian
karena mencari keridhaan Allah, maka kelak
Kami
memberi kepadanya pahala yang besar” (An-
Nisa:
114).
Allah ta’ala telah mengabarkan bahwa semua perkara yang
disebutkan dalam ayat di atas berupa memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian
di antara manusia. adalah kebaikan, dan kebaikan
selalu mendatangkan kebaikan berikutnya dan menolak
keburukan. Seseorang yang berharap dari Allah ta’ala akan selalu Allah berikan kepadanya pahala yang banyak, diantaranya: hilangnya perasaan gundah dan gelisah dan kesulitan
hidup lainnya.
Karena itu tidak ada faedahnya, seperti yang terjadi dalam pembicaraan
secara berlebihan, bahkan bisa berupa keburukan atau madharat semata,
sebagaimana dalam pembicaraan haram dengan segala macamnya.
Maka Baik sedekah harta, sedekah
ilmu maupun menyedekahkan sesuatu yang bermanfaat lainnya, bahkan bisa termasuk
pula ibadah yang manfaatnya bagi diri sendiri, seperti tasbih, tahmid dsb.
أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ
مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ بِا تَكْبِيرَةٍ
صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ لْمَعْرُوفِ
صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
"Bukankah Allah telah
menjadikan untuk kamu sesuatu yang bisa kamu sedekahkan. Sesungguhnya setiap
tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah
sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, amr ma'ruf adalah sedekah, nahi munkar
adalah sedekah dan jima' yang dilakukan salah seorang di antara kamu adalah
sedekah."(HR. Muslim)
Perbuatan Ma’ruf yakni berbuat ihsan dan ketaatan. Demikian pula
segala sesuatu yang dipandang baik oleh syara' dan akal, inilah yang disebut
sebagai ma'ruf. Memerintahkan yang ma'ruf, jika disebutkan secara terpisah
tanpa disebutkan nahi munkar, maka termasuk pula ke dalamnya nahi munkar, hal
itu karena meninggalkan yang munkar termasuk perkara ma'ruf, di samping itu
mengerjakan kebaikan tidaklah sempurna kecuali dengan meninggalkan yang munkar
atau keburukan. Adapun ketika disebutkan secara bersamaan, maka amar ma'ruf
adalah mengerjakan perkara yang diperintahkan, sedangkan nahi munkar adalah
meninggalkan yang dilarang.
Mengadakan perdamaian biasanya tidak dilakukan
kecuali antara dua pihak yang bersengketa dan bermusuhan, di mana hal itu jika
dibiarkan akan menimbulkan keburukan dan perpecahan yang besar. Oleh karena
itu, syari' mendorong untuk mendamaikan antara manusia, baik dalam hal darah,
harta maupun kehormatan, bahkan dalam menjalankan agama
واَعْتصِمُواْ بِحَبْلِ الله جَمِيْعًا وَلاَ
تَفَـرَّقوُا وَاذْ كـُرُو نِعْمَتَ الله عَلَيْكُمْ إٍذْكُنْتُمْ
أَعْـدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلـُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ
بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنْتُمْ عَلىَ شَفاَ خُـفْرَةٍ مِنَ النَّاِر
فَأَنْقـَدَكُمْ مِنْهَا كَذَالِكَ يُبَبِّنُ اللهُ لَكُمْ اَيَاتِهِ لَعَلـَّكُمْ
تَهْـتَدُونَ ’{ال عـمران 103}
Tentang
keutamaan mendamaikan dua pihak yang bertengkar, Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ
دَرَجَةِ الصِّيَامِ وَ الصَّلاَةِ وَ الصَّدَقَةِ ؟ إِصْلَاحُ ذَاتَ
الْبَيْنِ فَإِنَّ فَسَادَ ذَاتَ الْبَيْنِ هِيَ الْحَالِقَةُ .
"Maukah kamu aku beritahukan sesuatu yang lebih utama daripada derajat
puasa, shalat dan sedekah (sunat)? Yaitu mendamaikan dua pihak yang bertengkar,
karena sesungguhnya merusak dua pihak yang bertengkar merupakan pengikis
(agama)." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Darda', dishahihkan
oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami' no. 2595)
Namun demikian, sempurnanya pahala
yang didapatkan tergantung niat dan keikhlasan sebagaimana diterangkan dalam
ayat di atas. Oleh karena itu, sepatutnya seorang hamba mengikhlaskan hatinya
karena Allah Ta'ala, mengikhlaskan amalnya di setiap waktu agar memperoleh
pahala yang besar dan terbiasa berbuat ikhlas sehingga termasuk orang-orang
yang ikhlas, pahala yang diperolehnya akan menjadi sempurna, bahkan kalau pun
tujuannya tidak tercapai, ia tetap mendapatkan pahala.
Sebaliknya
Allah Ta’ala tidak akan memperbaiki dan menyempurnakan pekerjaan dan maksud
tujuan dari seseorang yang melakukan kerusakan, sebagaimana firman-Nya
{ إِنَّ اللَّهَ لَا يُصْلِحُ عَمَلَ الْمُفْسِدِينَ ْ}
Sesungguhnya
Allah tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang-yang membuat
kerusakan. (Yunus: 81)
Maka
ketiga jenis perbuatan (menyerukan kepada sedekah, ma’ruf, dan perdamaian) akan
mendatangkan pujian Allah Ta’ala. Akan tetapi, tingkat kesempurnaan pujian yang
akan didapat tergantung dari niatnya melakukan perbuatan tersebut dan juga
keikhasannya.
Dengan
hal ini maka wajib bagi setiap hamba untuk beramal semata-mata mengharapkan
wajah Allah dan mengikhlaskan amalannya tesebut pada setiap waktu dan dalam
setiap bagian dari amalannya, sehingga dengan hal ini ia akan mendapatkan
balasan yang sempurna dari Allah ‘Azza wa Jalla.
Komentar
Posting Komentar