Bab I, Iman dan Amal Sholih bag 4.
Jika anda mengamati dan menilai keadaan orang pada umumnya dengan barometer iman dan amal shaleh, maka anda akan melihat perbedaan jauh antara orang mu’min yang berbuat sesuai tuntunan imannya dan yang tidak demikian. Hal itu karena Islam sangat menganjurkan qana’ah (menerima dengan penuh kerelaan) terhadap rezki dari Allah dan terhadap ragam karunia dan kemurahanNya yang diberikanNya kepada para hambaNya.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ
أَفْلَحَ مَنْ هُدِىَ إِلَى الإِسْلاَمِ وَرُزِقَ الْكَفَافَ وَقَنِعَ بِهِ
”Sungguh beruntung orang yang diberi petunjuk dalam Islam, diberi rizki
yang cukup, dan qana’ah (merasa cukup) dengan rizki tersebut.” (HR.
Ibnu Majah no. 4138, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).Yang dimaksud qana’ah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Baththol,
الرضا بقضاء الله تعالى والتسليم لأمره علم أن ما عند الله خير للأبرار
”Ridho dengan ketetapan
Allah Ta’ala dan berserah
diri pada keputusan-Nya yaitu segala yang dari Allah itulah yang terbaik.”
Itulah qana’ah.
Orang mu’min jika diuji dengan
datangnya penyakit atau kefakiran atau semacamnya –yang setiap orang bisa
menjadi sasaran cobaan itu-, maka dengan iman dan jiwa qana’ah serta ridha
terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya, anda dapati ia berhati sejuk dan
bermata ceria, tidak menuntut sesuatu yang tidak ditakdirkan untuknya. Di segi
materi, ia memandang kepada yang lebih rendah, tidak memandang kepada yang
lebih atas. Bisa jadi, kegembiraan, kesenangan dan ketentraman batinnya
melebihi orang yang meraih semua keinginan duniawi, jika orang itu tidak
dikarunianya jiwa qanaah.
Kemudian, anda dapati orang yang
tidak berbuat sesuai dengan tuntunan iman, jik ia diuji dengan sedikit
kefakiran saja, atau tidak diperolehnya keinginan-keinginan duniawinya, maka
anda dapati ia sangat hancur dan sengsara.
Ibnu Baththol di mana beliau
berkata ketika menjelaskan hadits dalam Shahih
Bukhari,
يريد ليس حقيقة الغنى عن كثرة متاع
الدنيا، لأن كثيرًا ممن وسع الله عليه فى المال يكون فقير النفس لا يقنع بما أعطى
فهو يجتهد دائبًا فى الزيادة، ولا يبالى من أين يأتيه، فكأنه فقير من المال؛ لشدة
شرهه وحرصه على الجمع، وإنما حقيقة الغنى غنى النفس، الذى استغنى صاحبه بالقليل
وقنع به، ولم يحرص على الزيادة فيه
”Yang dimaksud kaya bukanlah dengan banyaknya perbendaharaan
harta. Karena betapa banyak orang yang telah dianugerahi oleh Allah harta malah
masih merasa tidak cukup (alias: fakir). Ia ingin terus menambah dan menambah.
Ia pun tidak ambil peduli dari manakah harta tersebut datang. Inilah orang yang
fakir terhadap harta (tidak merasa cukup dengan harta). Sikapnya demikian
karena niatan jelek dan kerakusannya untuk terus mengumpulkan harta. Padahal
hakikat kaya adalah kaya hati, yaitu seseorang yang merasa cukup dengan
yang sedikit yang Allah beri. Ia pun tidak begitu rakus untuk terus menambah.”
Qana’ah
berarti rela menerima dan mencukupkan dengan apa yang diperolehnya secara halal
dan baik. Qana’ah bukan berarti diam tidak berusaha, dan hidup
bermalas-malasan.
Berusaha,
berikhtiar, dan bekerja tetap dilakukan, namun hasilnya diserahkan kepada Allah
SWT. Apabila kita telah berusaha seoptimal mungkin, tetapi hasilnya tidak
sesuai dengan yang diharapkan, maka orang yang Qana’ah akan tetap ridha
menerima hasilnya dengan sabar dan tawakal kepada Allah SWT sifat Qana’ah ini
dapat menjadikan hati kita damai, tentram dan tenang dalam menjalani kehidupan
serta dapat menjauhkan diri dari sifat serakah dan tamak.
Banyak orang kaya raya secara lahiriah, namun dibalik itu hatinya selalu gelisah memikirkan keberadaan dan keamanan hartanya dari hal-hal yang tidak diinginkan. Sebaliknya, banyak orang yang hidupnya serba kekurangan, namun hidupnya tenang dan damai bahkan masih sanggup menyisihkan sebagian hartanya untuk kepentingan sosial.
Untuk menumbuhkan sifat Qana’ah diperlukan latihan dan kesabaran. Pada awalnya, hal ini mungkin sangat diberatkan. Apabila sifat Qana’ah sudah terbiasa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari maka akan melekat dalam dirinya mendarah daging menjadi bagian dalam hidupnya. Sifat Qana’ah dapat mewujudkan kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat kelak dapat dicapainya.
Sifat Qana’ah dapat mewujudkan ketentraman
dalam kehidupan bermasyarakat. Orang yang Qana’ah tidak akan cepat putus asa,
serakah, dan tamak. Menerima dengan ikhlas apa adanya yang diberikan Allah
kepada kita serta memohon tambahan yang pantas kepada Allah SWT, disertai
dengan usaha dan ikhtiar.
Juga
membiasakan hati untuk menerima apa adanya dan merasa cukup terhadap pemberian
Allah subhanahu wata’ala, karena hakikat kaya itu ada di dalam hati.
Barangsiapa yang kaya hati maka dia mendapatkan nikmat kebahagiaan dan kerelaan
meskipun dia tidak mendapatkan makan di hari itu.
Sebaliknya
siapa yang hatinya fakir maka meskipun dia memilki dunia seisinya kecuali hanya
satu dirham saja, maka dia memandang bahwa kekayaannya masih kurang sedirham,
dan dia masih terus merasa miskin sebelum mendapatkan dirham itu. Jika terjadi pada seseorang
hal-hal yang menakutkan dan ia tertimpa malapetaka dan bencana, maka orang yang
benar imannya akan anda dapati ia berhati teguh, berjiwa tenteram lagi tegar
menangani dan menyetir sesuatu yang menimpanya dengan pikiran, ucapan dan
tindakan yang dimampuinya.
.Ia kukuhkan jiwanya untuk
menghadapi bencana yang menimpa itu. Sikap semacam ini adalah sikap yang
menentramkan dan mengukukuhkan hati seseorang.
Sebaliknya, orang yang tidak memiliki iman, jika terjadi peristiwa-peristiwa yang menakutkan, anda dapati ia guncang hatinya dalam menghadapinya, syaraf-syaraf tegang, dan pikirannya tercerai-berai. Rasa kekhawatiran dan ketakutan merasuk jiwanya. Rasa ketakutan dari ancaman luar dan seribu gejolak di dalam telah tertumpuk menyatu dalam dirinya, yang tidak mungkin digambarkan. Manusia semacam ini, jika tidak memiliki beberapa sarana terapi alami yang hal itu membutuhkan latihan banyak, maka ketahanan dirinya akan luluh dan syaraf-syarafnya pun akan tegang. Itu semua karena ia tidak memiliki iman yang dapat membawanya untuk bersabar, terutama dalam situasi sulit dan kondisi yang menyedihkan lagi mengguncang.
Sebaliknya, orang yang tidak memiliki iman, jika terjadi peristiwa-peristiwa yang menakutkan, anda dapati ia guncang hatinya dalam menghadapinya, syaraf-syaraf tegang, dan pikirannya tercerai-berai. Rasa kekhawatiran dan ketakutan merasuk jiwanya. Rasa ketakutan dari ancaman luar dan seribu gejolak di dalam telah tertumpuk menyatu dalam dirinya, yang tidak mungkin digambarkan. Manusia semacam ini, jika tidak memiliki beberapa sarana terapi alami yang hal itu membutuhkan latihan banyak, maka ketahanan dirinya akan luluh dan syaraf-syarafnya pun akan tegang. Itu semua karena ia tidak memiliki iman yang dapat membawanya untuk bersabar, terutama dalam situasi sulit dan kondisi yang menyedihkan lagi mengguncang.
Akan tetapi, orang mu’min, dengan
kekuatan imannya, kesabarannya, kepasrahan dan kebersandarannya kepada Allah
serta keberharapannya pada pahalaNya, ia unggul dengan memiliki nilai-nilai
lebih yang meningkatkan keberaniannya, meringankan tekanan rasa takutnya dan
membuatnya memandang kecil segala kesulitan yang dihadapinya. Bersambung…
[Disalin dan disyarahkan dari kitab Al-Wasailu
Al-Mufidah Lil Hayatis Sa'idah, Penulis Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Nashir
As-Sa'di]
Komentar
Posting Komentar