Menasihati, bukan berarti merasa paling baik

Abu Abdullah Zaen bersama Andi Tenriawaru.


“Wahai manusia, sesungguhnya aku tengah menasehati kalian, dan bukan berarti aku orang terbaik di antara kalian, bukan pula orang yang paling shalih di antara kalian. Sungguh, akupun telah banyak melampaui batas terhadap diriku. Aku tidak sanggup mengekangnya dengan sempurna, tidak pula membawanya sesuai dengan kewajiban dalam menaati Rabb-nya. Andaikata seorang muslim tidak memberi nasehat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya menjadi orang yang sempurna, niscaya tidak akan ada para pemberi nasehat. Akan menjadi sedikit jumlah orang yang mau memberi peringatan dan tidak akan ada orang-orang yang berdakwah di jalan Allah, tidak ada yang mengajak untuk taat kepada-Nya, tidak pula melarang dari memaksiati-Nya. Namun dengan berkumpulnya ulama dan kaum mukminin, sebagian memperingatkan kepada sebagian yang lain, niscaya hati orang-orang yang bertakwa akan hidup dan mendapat peringatan dari kelalaian serta aman dari lupa dan kekhilafan. Maka terus-meneruslah berada pada majelis-mejelis dzikir (majelis ilmu), semoga Allah mengampuni kalian. Bisa jadi (ada) satu kata yang terdengar (di sana) dan kata itu merendahkan (diri kita) namun sangat bermanfaat (bagi kita). Bertakwalah kalian semua kepada Allah dengan sebenar-benar takwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.” (Hasan Al-Basri)
Sebagai sesama muslim, sudah seyoyanya kita saling menasihati. Mungkin terkadang orang menganggap remeh nasihat kita, dikarenakan ia mengetahui aib kita. Namun, bukanlah tidak ada manusia yang luput dari kesalahan? Apakah kita baru berani memberi nasihat ketika kita rasa tlah merasa sempurna? Tentu tidak. Saat kita menasihati orang lain, bukan berarti kita merasa sebagai orang yang paling shalih, ataupun alim. Akan tetapi, itu sebagai aplikasi tolong menolong kita dalam kebaikan. Kadang kita menjadi subyek (yang menolong), dan di lain waktu kita bisa menjadi obyek (yang ditolong).
Al insanu mahalul khatha wa nisyan, manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Jadi, sudah merupakan hal wajar jika kita melakukan khilaf. Disinilah fungsi nasihat, mengingatkan dan meluruskan kesalahan kita. Ketika teman, keluarga, tetangga ataupun guru kita melakukan kesalahan, berilah mereka nasihat, tentunya dengan memperhatikan adab-adab dan metode yang baik ketika memberi nasihat. Diantaranya niat ikhlash, berdasarkan ilmu, menasihati secara rahasia, menggunakan kata-kata yang lembut, dan menyesuaikan kondisi, situasi, dan kepribadian orang tersebut.
Ketika orang yang kita nasihati tetap acuh dan tak menghiraukan nasihat kita, maka besabarlah. Dan tak lupa berdoa semoga Allah melapangkan hatinya untuk menerima kebenaran. Begitu pula sebaliknya, tak pantas kita marah ketika ada orang yang menasihati kita, apalagi jika yang ia sampaikan itu benar dan merupakan perkara agama yang penting. Undhur ma qala wa la tandhur man qala, lihatlah apa yang dikatakan dan janganlah melihat siapa yang mengatakan. Artinya, dalam menerima nasihat ataupun masukan, kita tak memandang siapa yang mengatakan. Karena bisa jadi, suatu nasihat yang baik keluar dari mulut seorang petani miskin. Dan bisa juga, anak yang usianya di bawah kita lebih memahami kebenaran dan ilmunya lebih luas dibanding kita. Selama itu benar, terimalah.
Maha benar Allah yang berfirman: Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Al-Asr:1-3)
Semoga Allah tak menjadikan kita sebagai orang-orang yang merugi. Mari tingkatkan iman, perbanyak amal shalih, dan jangan lupa, saling menasihati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mati karena sesuai dengan kebiasaannya

ILMU TERBAGI MENJADI DUA (ILMU DHARURI DAN ILMU NAZHARI)

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA