Tafsir Isra' mi'raj

Mutiara Ar-Risalah Meningkatkan ketaqwaan umat berrisalah Juni 2014


Telah menjadi ijma’ (konsensus) bahwa Rasulullah di-isra’-kan dengan jasad dan ruhnya serta dalam keadaan sadar (bukan mimpi). Inilah pendapat yang benar
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas, Jabir, Anas ibn Malik, Umar ibn Khattab, Hudzaifah, Imam Ahmad ibn Hanbal, Imam ath-Thabari dan yang lainnya.
Andaikata peristiwa Isra’ tersebut hanyalah sekedar mimpi, maka orang-orang kafir Quraisy tidak akan menentangnya dan peristiwa Isra’ tersebut tidak akan menjadi salah satu mukjizat Rasulullah yang terbesar.
Mi’raj
Kemukjizatan Mi’raj telah dinash secara jelas dalam hadits shahih, seperti yang diriwayatkan Imam Muslim. Adapun dalam al Qur’an tidak ada nash yang menyebutkan lafazh “Mi’raj”. Namun ada ayat yang menjelaskan kejadian tersebut. Firman Allah ta’ala dalam QS An-Najm 13-14
Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain
( yaitu) di Sidratil Muntaha
Mi’raj adalah perjalanan yang dimulai dari Masjid al Aqsha hingga ke atas langit ke tujuh dengan menaiki tangga yang terpaut di antara langit dan bumi, dengan anak tangga yang terbuat dari emas dan perak. Kisah Mi’raj ini secara terperinci diriwayatkan dalam hadits yang shahih riwayat Imam Muslim. Disebutkan dalam hadits tersebut bahwa ketika Rasulullah bersama Jibril sampai pada langit yang pertama, dibukalah pintu langit tersebut setelah terjadi percakapan antara Jibril dan penjaga pintu.
Hal ini terjadi setiap kali Rasulullah dan Jibril hendak memasuki tiap-tiap langit yang tujuh. Di langit pertama, Rasulullah bertemu dengan Nabi Adam, di langit kedua bertemu dengan Nabi Isa, di langit ketiga bertemu dengan Nabi Yusuf, di langit keempat bertemu dengan Nabi Idris, di langit kelima bertemu dengan Nabi Harun, di langit keenam bertemu dengan Nabi Musa, di langit ketujuh bertemu dengan Nabi Ibrahim.
Apakah Tujuan Isra’ dan Mi’raj ?
Tujuan dan hikmah yang sebenarnya dari Isra’ dan Mi’raj adalah memuliakan Rasulullah dan memperlihatkan kepadanya beberapa keajaiban ciptaan Allah sesuai dengan firman Allah dalam surat al Isra’: 1:
Maknanya: “Agar kami memperlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran kami”.
serta mengagungkan beliau sebagai Nabi akhir zaman dan sebaik-baik nabi di antara para nabi, sekaligus sebagai penguat hati beliau dalam menghadapi tantangan dan cobaan yang dilontarkan oleh orang kafir Quraisy terlebih
setelah ditinggal mati oleh paman beliau Abu Thalib dan isteri beliau Khadijah. Rasulullah menjelaskan mengenai peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Dalam hadits tersebut diriwayatkan bahwa ketika Nabi berada di atas Sidratul Muntaha beliau mendengar kalam Allah di antaranya berisi kewajiban sholat 50 kali dalam sehari semalam bagi umatnya. Kemudian terjadilah dialog dengan Nabi Musa sebab kalam-Nya azali (ada tanpa permulaan). Pada malam yang mulia dan penuh berkah itu Allah membuka hijab dari Rasulullah; hal yang dapat menghalanginya dari mendengar kalam Allah yang azali. Allah memperdengarkan kalam- Nya dengan Qudrah-Nya pada saat Rasulullah berada di suatu tempat di atas Sidratul Muntaha ; suatu tempat yang tidak pernah dikotori dengan perbuatan maksiat dan bukan tempat di mana Allah berada seperti dugaan sebagian orang sebab Allah ada tanpa tempat.
Sikap Seorang Muslim Terhadap Kisah Isra’ Mi’raj
Berita-berita yang datang dalam kisah Isra’ Miraj seperti sampainya beliau ke Baitul Maqdis, kemudian berjumpa dengan para nabi dan shalat mengimami mereka, serta berita-berita lain yang terdapat dalam hadits- hadits yang shahih merupakan perkara ghaib. Sikap terhadap kisah-kisah seperti ini harus mencakup kaedah berikut :
1. Menerima berita tersebut.
2. Mengimani tentang kebenaran berita tersebut.
3. Tidak menolak berita tersebut atau mengubah berita tersebut sesuai dengan kenyataannya.
Kewajiban kita adalah beriman sesuai dengan berita yang datang terhadap seluruh perkara-perkara ghaib yang Allah Ta’ala kabarkan kepada kita atau dikabarkan oleh Rasulullah saw.
Hendaknya kita meneladani sifat para sahabat ra terhadap berita dari Allah dan rasul-Nya. Dikisahkan dalam sebuah riwayat bahwa setelah peristiwa Isra’ Mi’raj, orang-orang musyrikin datang menemui Abu Bakar As Shiddiq ra. Mereka mengatakan : “Lihatlah apa yang telah diucapkan temanmu (yakni Muhammad)!” Abu Bakar berkata : “Apa yang beliau ucapkan?”. Orang-orang musyrik berkata : “Dia menyangka bahwasanya dia telah pergi ke Baitul Maqdis dan kemudian dinaikkan ke langit, dan peristiwa tersebut hanya berlangsung semalam”. Abu Bakar berkata : “Jika memang beliau yang mengucapkan, maka sungguh berita tersebut benar sesuai yang beliau ucapkan karena sesungguhnya beliau adalah orang yang jujur”. Orang-orang musyrik kembali bertanya: “Mengapa demikian?”. Abu Bakar menjawab: “Aku membenarkan seandainya berita tersebut lebih dari yang kalian kabarkan. Aku membenarkan berita langit yang turun kepada beliau, bagaimana mungkin aku tidak membenarkan beliau tentang perjalanan ke Baitul Maqdis ini?” (Hadits diriwayakan oleh Imam Hakim dalam Al Mustadrak 4407 dari ‘Aisyah ra).
Perhatikan bagaimana sikap Abu Bakar ra terhadap berita yang datang dari Nabi. Beliau langsung membenarkan dan mempercayai berita tersebut. Beliau tidak banyak bertanya, meskipun peristiwa tersebut mustahil dilakukan dengan teknologi pada saat itu. Demikianlah seharusnya sikap seorang muslim terhadap setiap berita yang shahih dari Allah dan rasul-Nya.
Mukjizat Isra’ dan Mi’raj selain penuh dengan hikmah dan pelajaran juga merupakan ujian bagi keimanan kita akan kekuasaan Allah ta’ala. Apakah kita termasuk orang yang beriman dengan sebenarnya atau justru mendustakan peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi ini dengan dalih filsafat dan logika, Wallahu A’lam wa Ahkam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mati karena sesuai dengan kebiasaannya

ILMU TERBAGI MENJADI DUA (ILMU DHARURI DAN ILMU NAZHARI)

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA