Sekeluarga Menuju Surga

Abu Abdullah Zaen

Kamis, 13 Rajab 1437 / 21 April 2016
Yang dicari dari kehidupan seorang muslim selama ia hidup di dunia ialah menjadikan tujuan hidupnya untuk senantiasa berjalan ke arah surga. Dengan berbagai jalan penghambaan yang dibenarkan dan diajarkan oleh Rasulnya shalallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itulah jua hakikat penghambaan seorang manusia kepada Rabbnya. Berbicara soal surga adalah bicara soal jalan-jalan panjang yang tak mungkin tidak memiliki rintangan, itulah mengapa mereka yang Allah karuniakan surga adalah orang-orang yang Allah karuniakan keberuntungan dalam menjalani hidupnya selama di dunia disebabkan dengan baik ia jadikan hidup diatas arah dan tujuan.
Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran : 185)
Sebagai muslim yang dikaruniai fitrah oleh Allah Ta’ala, merajut benang mahligai rumahtangga adalah bagian dari jalan hidup yang harus ditunaikan, sebab begitulah yang Islam ajarkan dan seperti demikianlah ia mencontoh apa yang dilakukan oleh orangtuanya. Menjaga hubungan keluarga tetap harmonis, saling menguatkan, dan menempatkan cita-cita tertinggi dari kebersamaan yang disepakati sejak mula-mula pernikahan terlaksana. Disamping tentu senjata untuk menjaga kekuatan dan ketahanan keluarga itu sendiri yaitu harapan, pengertian, dan doa sepanjang kebersamaan. Adapun riak-riak kecil dari onak dan duri dalam berumahtangga hendaknya diusahakan padanya perbaikan dengan banyak perantara yang berada disekitar. Maka, bangunlah rumahtangga dengan tujuan untuk membangun, bukan membangun dengan tujuan untuk menghancurkan.
Lantas bagaimana menjadikan bahtera menuju tepian surga? Islam tentu punya solusi yang luar biasa untuk hal satu ini. Pertama ialah pilih pasangan yang memiliki agama dan visi hidup yang baik. Agama dan visi yang baik akan saling menguatkan dan mendukung, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Empat perkara termasuk kebahagiaan; istri yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang shalih, dan kendaraan yang tenang…” (HR. Ibnu Hibban dalam Ash Shahihah 282).
Begitulah anjuran dari Nabi soal visi dalam berumahtangga, jika sudah dipenuhi keempatnya, maka tercukupilah kebahagiaan dunia senyatanya. Walaupun sejatinya tidak ada yang benar-benar bisa terpenuhi, namun yakinlah dibalik ketidakterpenuhannya hal tersebut tentu itu merupakan pembelajaran dan menguatkan semakin tinggi bentuk ikhtiar dan tawakal seseorang. Jika hidup adalah proses, bersabar adalah laku yang mesti dijalani, maka puncak dari segalanya ialah bertawakal kepada Allah Ta’ala.
Kedua, bangun kerjasama efektif diantara anggota keluarga, hal ini tidak mudah dan selalu sulit untuk mempertemukan kesamaan panduan. Satu sisi terkadang orangtua menginginkan anak untuk demikian, sisi sebaliknya si anak merasa bahwa orangtua tidak pengertian. Satu sisi orangtua masih menganggap anaknya berubah, di sisi lain si anak melihat perlakuan orangtua terhadap anak tak ubahnya saat masih dalam buaian. Maka membangun kerjasama dan kesoliditasan adalah kunci. Berkaca dari apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail alaihimush shalatu wa sallam yang Allah sampaikan dalam firmannya, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Rabb kami, terimalah daripada kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 127).
Antara anak dan orangtua harus terbangun komunikasi yang baik, visi keluarga sejatinya sudah mengakar dalam budaya kehidupan sang anak. Batas aturan, ketegasan, hukuman, apresiasi, dan penghargaan adalah rambu-rambu yang anak sudah pahami tanpa adanya pertanyaan. Namun bukan berarti harus mendidik dengan keras dan beringas, menekan hingga berada dalam balutan keterpaksaan. Bukan. Akan tetapi orangtua sudah harus paham tumbuh kembang anaknya, belajar banyak hal bukan hanya sekedar mengandalkan pengalaman, bertukar pikiran dan duduk bersama anak untuk menyusun perencanaan. Anak tentu punya pilihan, pun halnya dengan orangtua, namun yang harus dipahami bahwa perkembangan zaman bisa mengubah segala pandangan tentang kehidupan, segala seuatu bisa berubah namun amalan dalam agama Islam sudah tetap dan takkan pernah berubah sebab sudah ada contohnya dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan kita tinggal menyesuaikan, dengan menimbang segala keadaan apakah layak ataukah tidak untuk terlaksana. Sehingga dalam perkara dunia, ikatan kerjasama dalam keluarga tidaklah dibangun karena adanya fondasi agama. Adapun soal rejeki, Allah senantiasa bersama hambanya yang taat.
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberikan rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha : 132).
Semoga kita dapat membawa bahtera keluarga menuju surga yang dinantikan oleh insan beriman, dengan penuh harapan dan ikhtiar tanpa henti. Puncak sayang terhadap diri adalah merelakan dan siap berkorban untuk memperbaiki segala hal. Sebagai manusia tentu alpa dan salah adalah bagian, namun terus memperbaiki diri dan keluarga adalah obat sekaligus jawaban.
Mari kita cita-citakan agar keluarga kita hari ini menjadi keluarga yang terkumpulkan didalamnya surga kembali.

Oleh: Rizki Abu Haniina

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mati karena sesuai dengan kebiasaannya

ILMU TERBAGI MENJADI DUA (ILMU DHARURI DAN ILMU NAZHARI)

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA