Al-Furqan Sebagai Peringatan
(1) Maka berkatlah
Tuhan, yang telah menurunkan al-Furqan kepada hambaNya, untuk memberi
peringatan kepada seluruh Alam.
Di ayat yang pertama ditegaskan oleh Allah betapa besar berkat yang dilimpahkan kurniaNya
kepada perikemanusiaan seluruhnya oleh karena telah diturunkan al-Furqan kepada
hambaNya , yaitu Nabi Muhammad saw
Supaya hamba kekasih itu menyampaikannya pula sebagai
peringatan kepada seluruh alam. Di dalam ayat ini dijelaskan oleh Tuhan bahwa
hambaNya yang dikasihiNya itu tidaklah bertindak atas kehendak sendiri
menyebarkan peringatan kepada isi alam. Dia hanya semata-mata pelaksana yang
diperintah dan dititahkan Tuhan buat menyampaikan.
Hamba yang terpilih itu membawa perintah, yaitu al-Furqan,
nama yang lain daripada al-Quran. Jika al-Quran berarti bacaan, al-Furqan
berarti pembeda pemisah. Artinya, apabila orang telah menerima al-Furqan itu
memahamkan dan mengamalkan, niscaya dapatlah dia membedakan di antara yang baik
dengan yang batil, yang salah dengan yang benar. Al-Quran bukan semata di -
dengar, tetapi dibaca dan difahamkan, dimasukkan ke dalam hati. Apabila dia
telah lekat di dalam hati, dia akan meninggalkan kesan, yaitu cahaya (nur)
petunjuk, sehingga dia tidak perlu kepada petunjuk lain lagi.
Umar bin Khathab setelah memeluk agama Islam dan memahami
isi al-Quran, dapatlah dia membedakan yang benar dengan yang salah, yang hak
dengan yang batil, sehingga berkali-kali telah terjadi, dia memberikan
pertimbangan kepada Rasulullah dalam beberapa perkara, yang kemudian
pendapatnya itu sesuai dengan wahyu yang turun. Oleh sebab itu dia diberi 0leh
Nabi s.a.w. gelar “al-Faruq" adalah lanjutan daripada “al-Furqan”, sama
rumpun artinya, yaitu kesanggupan membedakan buruk dan baiknya sesuatu.
Tegasnya, moga-moga dengan berpedoman kepada
“al-Furqan" seseorang akan dapat mencapai "al-Faruq". -Apatah
lagi yang membawa al-Furqan itu ialah ‘Abdihi, HambaNya sendiri. Segala kita
makhluk ini pada hakikatnya ialah hamba Tuhan, tidak ada yang terlepas.
Tetapi ada orang yang sadar akan perhambaannya dan ada pula
yang tidak sadar. Orang yang sadar bahwa dirinya itu adalah hamba dari llahi,
sanggup memikul perintah berat dipikul, ringan dijinjing. Ditempuhnya segala
kesulitan dan diatasinya segala rintangan karena mengharap ridha dari Allah tempat
dia memperhambakan agamanya. Orang-orang yang seperti inilah yang diberi
kehormatan 0leh Tuhan, lalu dipanggilkan dianya “HambaKu".
Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
Apabila kita perhatikan dengan seksama, tidaklah selalu
Tuhan memanggilkan utusanNya itu dengan panggilan ‘Abdun (hamba). Gelar itu
hanya dipanggilkan sekali-sekali, yaitu di saat memikul tugas yang berat dan
panting.
Apabila kita baca dengan seksama dan mendalam, maka dalam
kata ‘abdun itu tersimpan perlindungan dan jaminan Tuhan atas RasulNya, Isra’
dan Mi‘raj ke alam Malaikat, menjemput syariat sembahyang, panggilan ‘Abdihi
itulah yang diberikan kepada- nya. Dan apabila disebutkan tugasnya sebagai
pembawa titah dan wahyu, sebagai tersebut di surat yang kita bicarakan
sekarang, atau sebagai disebutkan dalam Surat al-Kahfi ayat 1, bahwa dia
membawa Kitab (al-Quran) yang isinya tidak berbelit-belit, juga disebut
panggilan sebagai “‘Abdun".
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada
suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi
sekelilingnya847 agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dengan kata itu dia mendapat kehormatan tertinggi.Satu jiwa
yang besar tidaklah mau tunduk kepada siapa pun di dalam alam ini.Sebab segala
isi alam ini hanyalah makhluk sebagai kita juga. Jiwa ini hanya menghambakan
dirinya kepada pencipta alam, kepada Khaliq bukan kepada makhluk.
Hanya jiwa yang demikian yang tahan dan sanggup memikul
tugas , betapa pun beratnya, Hanya jiwa yang semacam inilah yang sanggup
berdiri melaksanakan amanat-amanat Allah
berupa ibadah sesuai syari’at
Dialah Rasulullah, ikutan kita.
Di dalam ayat ini juga sudah ditegaskan kewajiban Rasul itu.
Rasul yang dipanggilkan “'Abdun" dan bangga dengan panggilan itu. Tugasnya
ialah membawa wahyu dan memberi peringatan (nadzira). Wahyu yang bemama
“al-Furqan"; Lil 'Alamina, kepada seluruh alam. Bukan hanya terbatas
kepada suku Quraisy tetapi untuk sekalian suku. Bukan hanya terbatas untuk
bangsa Arab, tetapi untuk sekalian bangsa dan bukan terikat pada suatu zaman
tetapi buat seluruh zaman.
Setengah ahli tafsir berpendapat bahwasanya ‘Alamin itu
meliputi akan seluruh alam ini, bukan manusia saja tetapi buat seluruh yang
bemyawa. Dan bukan di bumi saja, bahkan meliputi seluruh langit dan bumi.
Tetapi setengah penafsir yang menyatakan lagi bahwasanya yang dimaksud dengan
'Alamin ialah sekalian manusia saja.
Dan setengahnya lagi mengambil jalan tengah, lalu berkata
bahwa yang dimaksud dengan Alamin ialah ats-tsaqaIaini, yaitu manusia dan jin.
Bau-bau yang ditinggalkan oleh penafsir lama itu tidaklah perlu kita masukkan
lagi ke dalam suasana sekarang. Yang terang ialah bahwa ketukan wahyu ialah
atas akal dan budi, atas jalan fikiran dan pandangan hidup.
Meskipun berbeda bahasa yang dipakai manusia karena
perbedaan iklim dan ruang atau masa, namun seluruhnya makhluk yang berakal
selalu mencari kebenaran, selalu menginginkan yang baik dan tidak menyukai yang
buruk.
Keinginan kepada kebenaran itulah yang diberi tuntunan
dengan "al-Furqan". Dan meskipun makhluk Allah yang lain tidak
menerima khithab (seruan) syariat, namun segala makhluk dapat dipergunakan oleh
manusia di dalam daya hidupnya. Gunung didaki manusia mencari rahasianya, laut
diseberangi mencari simpanannya, bahkan binatang dan burung-burung,
tanam-tanaman dan kayu di hutan pun dipegang oleh tangan manusia dan
dipergunakan.
Kalau jiwa manusia tidak dapat membedakan di antara yang
baik dengan yang buruk, maka segala barang yang terpegang oleh tangannya akan
terancam kebinasaan tidak membawa rahmat dan tidak membawa berkat. Oleh sebab
itu jika yang dituju dengan ‘AIamin ialah manusia, maka perbaikan jiwa manusia
itu akan berpcngaruh juga kepada alam lain di sekelilingnya.
Di ujung ayat ini diterangkan tugas itu dalam satu kata,
yaitu nadziran memberi peringatan atas bahaya-bahaya yang akan menimpa jika
kehendak Tuhan dilanggar. Kata nadziran bertimbalan dengan kata basyiran,
memberi khabar kesukaan dan kegembiraan bagi orang yang patuh menuruti perintah
Tuhan dan menghentikan larangannya. Maka nadziran itulah yang cocok dan tertonjol
di sini, karena yang dihadapi ummat manusia yang lengah dan Ialai karena
dipesona oleh kehendak-kehendak yang rendah, tersebab kegelapan fikiran (zhulm)
dan kepalsuan (zur).
Komentar
Posting Komentar