Kepemimpinan dalam Islam


A. Hakikat kepemimpinan

Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup Islam sudah mengatur sejak awal bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi seorang pemimpin. Menurut Shihab (2002) ada 3 hal yang harus dipahami tentang hakikat kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah swt. Lihat Q. S. Al-Baqarah (2): 124, "Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan (amanat), lalu Ibrahim melaksanakannya dengan baik. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya: Dan dari keturunanku juga (dijadikan pemimpin)? Allah swt menjawab: Janji (amanat)Ku ini tidak (berhak) diperoleh orang zalim".
Kepemimpinan adalah amanah, sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.
Karena itu pula, ketika sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr, meminta suatu jabatan, Nabi saw bersabda: "Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di hari kemudian (bila disia-siakan)".(H. R. Muslim). Sikap yang sama juga ditunjukkan Nabi saw ketika seseorang meminta jabatan kepada beliau, dimana orang itu berkata: "Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu. "Maka jawab Rasulullah saw: "Demi Allah Kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan itu".(H. R. Bukhari Muslim).
Kedua, kepemimpinan menuntut keadilan. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak dan golongan. Lihat Q. S. Shad (38): 22, "Wahai Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara manusia dengan hak (adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu".
Hal senada dikemukakan oleh Hafidhuddin (2003). Menurutnya ada dua pengertian pemimpin menurut Islam yang harus dipahami. Pertama, pemimpin berarti umara yang sering disebut juga dengan ulul amri. Lihat Q. S. An-Nisa (4): 5, "Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu". Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa ulil amri, umara atau penguasa adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain. Dengan kata lain, pemimpin itu adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan rakyat.
Ketiga, pemimpin sering juga disebut khadimul ummah (pelayan umat). Menurut istilah itu, seorang pemimpin harus menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan masyarakat, bukan minta dilayani. Dengan demikian, hakikat pemimpin sejati adalah seorang pemimpin yang sanggup dan bersedia menjalankan amanat Allah swt untuk mengurus dan melayani umat/masyarakat.
B. Memilih Ulil Amri dan Wakil Rakyat
Oleh karena itu, umat Islam tidak boleh sembarangan memilih pemimpin yang menjadi ulil amri bagi mereka. Imam Al Mawardi dalam Al Ahkam as Sulthaniyyah mensyaratkan pemilihan kepala negara atau Imam dengan dibentuknya Dewan Pemilih Imam (Ahlul Ikhtiar) yang memiliki kemampuan dan keahlian dalam memilih kepala negara atau Imam. Persyaratan dari Dewan Pemilih Imam ini meliputi : (1) bersikap adil (al’adalah) dengan segala persyaratannya, (2) berilmu (al ilmu), yakni mengetahui apa persyaratan seorang kepala negara atau imam dalam pandangan Islam, dan (3) memiliki pendapat dan hikmah kebijaksanaan (ar ra’yu wal hikmah) sehingga bisa menentukan mana yang lebih layak sebagai Imam/Kepala negara dan lebih mengerti pengaturan urusan kemaslahatan umat.
Pilihlah umara yang adil, yang memperhatikan seluruh kalangan. Jangan sampai meilih karena materinya yang gemerlap, sebab harta bukanlah penjamin kemakmuran. Allah menjamin kemakmuran kepada orang-orang yang bersedekah, maka pilihlah pemimpin yang banyak menyumbang untuk memakmurkan negeri kita tercinta.
Pemimpin yang berilmu akan memiliki aqidah yang benar (aqidah salimah) dalam memimpin sehingga ia bisa mengarahkan dan mengajarkan akhlak yang baik kepada yang dipimpinnya. Oleh karena itu pilihlah orang-orang yang beriman, karena merekalah cermin kemuliaan. Bila sedikit orang-orang beriman (sesat) maka bencana akan menimpa kita dan cermin ketercelaan. Perhatikan firman Allah berikut: Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya, (QS. Al-A’raf: 96).
Oleh karena itu, jika para pemimpin dan rakyat beriman, maka janji Allah akan dimakmurkan negrinya. Maka jangan sampai memilih wakil yang sesat karena mereka tidak beriman yang boleh jadi akan menyengsarakan negeri kita.
Pemimpin yang memiliki pendapat dan hikmah kebijaksanaan akan senantiasa membangun tatanan yang baik untuk memakmurkan negara, karena orang yang bijaksana cerdas dalam memakmurkan negerinya.
Itulah syarat-syarat pemimpin yang harus kita pilih. Semoga para pemimpin yang memenangkan pemilu memiliki ketiga sifat yang disebutkan. Sehingga tercapai negara kita yang makmur. Aamiin.
C. Sikap rakyat terhadap pemimpin
Dalam proses pengangkatan seseorang sebagai pemimpin terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yaitu masyarakat. Karena yang memilih pemimpin adalah masyarakat. Konsekwensinya masyarakat harus mentaati pemimpin mereka, mencintai, menyenangi, atau sekurangnya tidak membenci. Sabda Rasulullah saw: "Barang siapa yang mengimami (memimpin) sekelompok manusia (walau) dalam sholat, sedangkan mereka tidak menyenanginya, maka sholatnya tidak melampaui kedua telinganya (tidak diterima Allah)". Maka jangan sampai kita golput, karena kita haerus mmperjuangkan kepempinan yang mendatangkan kemakmuran. Kalau golput, bisa saja kita dipimpin oleh orang-orang sesat.
Di lain pihak pemimpin dituntut untuk memahami kehendak dan memperhatikan penderitaan rakyat. Sebab dalam sejarahnya para rasul tidak diutus kecuali yang mampu memahami bahasa (kehendak) kaumnya serta mengerti (kesusahan) mereka. Lihat Q. S. Ibrahim (14): 4, "Kami tidak pernah mengutus seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya". dan Q. S. At-Taubah (9): 129, "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, terasa berat baginya penderitaanmu lagi sangat mengharapkan kebaikan bagi kamu, sangat penyantun dan penyayang kepada kaum mukmin. Oleh karena itu, kita harus menjadi teladan pula bagi para pemimpin agar para pemimpin mengarahkan kita sesuai karakter kita agar terwujud kemakmuran.
Kanwil Kementerian Agama (Kemenag) dengan banyak penambahan dari penulis buletin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mati karena sesuai dengan kebiasaannya

ILMU TERBAGI MENJADI DUA (ILMU DHARURI DAN ILMU NAZHARI)

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA