Allah Melarang memilih pemimpin Kafir




segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pula atas Keagungan, Rahmat, Hidayah serta Inayahnya,,

Ikhwatu iman, pengangkatan atau pemilihan pemimpin yang disyari’atkan  sebenarnya telah dibahas tahun 2014 lalu, hanya kami ingin merinci supaya kita memahami bahwa Allah memberikan hikmah, serta hendak memperingatkan kepada kita.

Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup Islam sudah mengatur sejak awal bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi seorang pemimpin.

Hakikat kepemimpinan adalah sikap seorang pemimpin
Pertama, kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah Lihat Q. S. Al-Baqarah (2): 124, "Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan (amanat), lalu Ibrahim melaksanakannya dengan baik. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya: Dan dari keturunanku juga (dijadikan pemimpin)? Allah swt menjawab: Janji (amanat)Ku ini tidak (berhak) diperoleh orang zalim".

Kepemimpinan adalah amanah, sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang.


Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia. Karena itu pula, ketika sahabat Nabi , Abu Dzarr, meminta suatu jabatan, Nabi saw bersabda: "Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di hari kemudian (bila disia-siakan)".(H. R. Muslim). Sikap yang sama juga ditunjukkan Nabi saw ketika seseorang meminta jabatan kepada beliau, dimana orang itu berkata: "Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu. "Maka jawab Rasulullah saw: "Demi Allah Kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan itu".(H. R. Bukhari Muslim).
Kedua, kepemimpinan menuntut keadilan. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak dan golongan. Lihat Q. S. Shad (38): 22, "Wahai Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara manusia dengan hak (adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu".
Hal senada dikemukakan oleh Hafidhuddin (2003). Menurutnya pengertian pemimpin menurut Islam yang harus dipahami. Pemimpin berarti umara yang sering disebut juga dengan ulul amri. Lihat Q. S. An-Nisa (4): 5, "Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu". Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa ulil amri, umara atau penguasa adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain. Dengan kata lain, pemimpin itu adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan rakyat.

Ketiga, pemimpin sering juga disebut khadimul ummah (pelayan umat). Menurut istilah itu, seorang pemimpin harus menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan masyarakat, bukan minta dilayani.
Dengan demikian, hakikat pemimpin sejati adalah seorang pemimpin yang sanggup dan bersedia menjalankan amanat Allah swt untuk mengurus dan melayani umat/masyarakat.
Lihat ayat Qs AlBaqarah ayat 124, Bahwa Kepemimpinan ini adalah amanat maka Allah melarang kaum mu’minin memilih calon pemimpin yang tidak memiliki amanat. Dalam Alqur’an pengangkatan seorang berdasarkan kekuatan dan amanah .


إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الأمِينُ

sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya

Kedua sifat ini, “Kuat dan amanah” perlu diperhatikan ketika memilih seseorang, baik sebagai manajer, pimpinan, karyawan atau pemimpin di suatu negara. Jika kedua-duanya berkumpul bersamaan, maka akan sempurnalah pekerjaannya.

Al-Qawiyy artinya kekuatan. Yaitu disini mempunyai kekuatan ilmu, fisik, strategi dan sebagainya yang dimana ia bisa memimpin agar adanya keamanan, kelemahan melawan musuh tentu tidak akan menjadikan wilayahnya aman. Pemimpin ini bermanfaat sehingga adanya keadilan.

Al-Amin artinya dapat dipercaya.semakna dengan mashdar amana, yu’minu, iimaanan. Iman sendiri artinya percaya. Dari sini saja pengangkatan harus dari pelaku amanah dan iman itu sendiri yaitu tentu dari kalangan kaum mu’minin. Maka disinilah ciri kepemimpinan ada pada kaum mu’minin. Pemimpin ini akan berguna sebagai khadimul ummah dan melaksanakan kepentingan ummat serta wajib ditaati apabila bukan perintah bermaksiat kepada Allah.

Maka itu Allah melarang secara jelas dan memperingatkan. Di Albaqarah ayat 124 saja Janji (amanat) Allah ini tidak (berhak) diperoleh orang zalim".
{لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali-wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.

Allah Swt. melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin berpihak kepada orang-orang kafir dan dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Kemudian Allah . mengancam perbuatan tersebut melalui firman-Nya:

{وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ}



Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah. (Ali Imran: 28).
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-Maidah: 51)
Ada berbagai macam pengertian dari wali atau awliya’. Di antara pengertiannya, wali adalah pemimpin. Istilah wali lainnya adalah untuk wali yatim, wali dari orang yang terbunuh, wali wanita. Wali yang dimaksud di sini adalah yang bertanggung jawab pada urusan-urusan mereka tadi. Semacam pemimpin negeri juga adalah yang mengepalai mengurus kaumnya dan mengatur dalam hal memerintah dan melarang. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 45: 135. Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini, “Allah Ta’ala melarang hamba-Nya yang beriman untuk loyal kepada orang Yahudi dan Nasrani. Lalu Allah mengabarkan bahwa mereka itu adalah auliya terhadap sesamanya. Kemudian Allah mengancam dan memperingatkan bagi orang mukmin yang melanggar larangan ini, “Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3: 417)

Sumber: tafsir ibnu katsir, Hidayatul Insan, Bulletin kami tahun 2014
Facebook: Mutiara Ar-Risalah, ArRisalah Press            oleh:Rizky Ramadhan


Komentar

Postingan populer dari blog ini

mati karena sesuai dengan kebiasaannya

Kumpulan Ayat Al Qur’an tentang Kiamat

ILMU TERBAGI MENJADI DUA (ILMU DHARURI DAN ILMU NAZHARI)