SELAMATAN KEMATIAN MENURUT MAZHAB SYAFI'I

Alex Ibnu AlrasyidIkuti

1. Didalam Kitab Fiqih I'anatut Thalibin, dinyatakan demikian :
"Apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul di (rumah) keluarga mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk bid'ah mankarat (bid'ah yang diingkari Agama), dan bagi orang yang membertantasnya akan diberi pahala". [I'anatut Thalibin, Syarah Fat hul Mu'in, jus 2 hal 145].
2. Berkata Imam As Syafi'i
"Aku tidak menyukai ma'tam yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit) meskipun disitu tidak ada tangisan, karena hal itu justru akan menimbulkan kesedihan baru". [As Syafi'i Al Uum, jus 1 hal 248]
3. Berkata Imam As Syafi'i
“Aku lebih senang kalau para tetangga atau kerabat dari keluarga yang mati itu membuatkan makanan untuk mereka (keluarga si mati) pada hari dan malam kematiannya, karena perbuatan itu termasuk sunnah.” [Kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’I, Juz I : halaman 247 baris ke-9]
4. Dikatakan bahwa Imam Syafi’I dan kawan-kawannya berpendapat
“Adapun berkumpul-kumpul di rumah orang mati kemudian keluarga si mati mengadakan makanan untuk mereka, hal ini tidak ada satupun riwayat yang diriwayatkan dari Rasululloh Shollallohu ‘alaihi wasallam yang membolehkannya. Perbuatan ini TIDAK termasuk perbuatan yang terpuji, bukan pula Mustahab.” [kitab Al-Madkhzl Juz III : halaman 228 baris ke-21]
5. Selanjutnya di dalam Kitab I'anatut Thalibin tersebut dikatakan demikian:
"Dan apa yang dibiasakan orang tentang hidangan makanan oleh keluarga mayit untuk dihidangkan kepada undangan adalah bid'ah yang tidak disukai dalam agama. Sebagaimana halnya berkumpul di rumah keluarga mayit itu sendiri, karena ada Hadist shahih yang diriwayatkan Jabir, berkata "kami menganggap, bahwa berkumpul dirumah keluarga mayit dan menghidangkan makananan adalah sama dengan hukum niyahah (meratapi mayit) yakni haram"
[I'anatut Thalibin, jus 2 hal 146].
6. Juga pengarang I'anatut mengutip keterangan dalam Kitab Bazzaziyah, sebagai berikut :
"Dan tidak disukai menyelenggarakan makan-makan pada hari pertama (kematian), hari ketiga, sesudah seminggu dan juga memindahkan makanan ke kuburan secara musiman (seperti peringatan khaul-khail)" [I'anatut Thalibin, juz 2 hal 146].
7. Di dalam Kitab Fiqih Mughnil Muhataj, disebutkan demikian :
"Adapun menyediakan hidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya orang banyak di tempat itu, adalah bid'ah yang tidak disunatkan, dan dalam hal ini, Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanadnya yang sah dari Jarir bin Abdillah, ia berkata : "kami menganggap, bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan menghidangkan makanan oleh keluarga mayit untuk acara itu, adalah sama hukumnya dengan niyahah (meratapi mayit, yakni haram)" [mughnil Muhtaj, juz 1, hal 268]
"Dan tidak ada keraguan sedikitpun bahwa mencegah umat dari bid'ah munkarat adalah berarti menghidupkan sunnah Nabi Shalallahu alaihi wasallam mematikan bid'ah, membuka seluas luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan, karena orang-orang memaksa-maksa diri mereka berbuat hal-hal yang akan membawa kepada hal yang diharamkan".
[I'anatut Thalibin, juz 2, hal 145, 146]
8. Selanjutnya pengarang Kitab tersebut mengutip Fatwa Mufti Madzhab Syafi'i, Ahmad Zaini bin Dahlan, sebagai berikut:
"Dan di antara bid'ah yang tidak disukai agama ialah, apa yang dikerjakan orang tentang memotong binatang-binatang ketika mayit di keluarkan dari tempat bersemayamnya, atau di kuburan, dan juga menyediakan hidangan makanan yang diperuntukkan bagi orang-orang yang ta'ziah (ngelayat=Jawa) [Abdurrahman Al Jaza'iri, Al Fiqhu Alal Madzahibil Arba'ah, juz 1 hal 539)
Demikian pendapat Ulama Syafi'iyah tentang selamatan kematian, yaitu mereka sepakat, bahwa amalan tersebut adalah bid'ah Munkarat. Dasar mereka adalah kesepakatan (ijma') sahabat Nabi shalallahu alaihi wasallam yang menganggap "haram" hukum amalan tersebut.
Makalah Pengajian Yayasan Jannah, http://cahayakharomah.blogspot.co.id/
https://islamitubenar.wordpress.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mati karena sesuai dengan kebiasaannya

ILMU TERBAGI MENJADI DUA (ILMU DHARURI DAN ILMU NAZHARI)

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA