HUKUM BAGI ORANG YANG MENUNDA-NUNDA MEMBAYAR HUTANG PUASA ROMADHON (Bagian ke-1)


📚 Fawaid Pagi Hari ini :



Saudaraku kaum Muslimin rohimakumulloh..…

Sebentar lagi, bulan ROMADHON tahun ini akan segera tiba kembali, tinggal beberapa hari lagi.

Coba koreksi, masih adakah diantara kita, yg masih mempunyai hutang puasa Romadhon tahun lalu, dan blm terbayar lunas hingga hari ini ?

Kalau masih mempunyai hutang puasa, segera lunasi dgn menunaikan hutang puasa yg masih tersisa itu.

Tentang masalah "meng-QODHO' atau membayar hutang puasa Romadhon ini, banyak permasalahan yg terjadi dan sering ditanyakan oleh kaum Muslimin.

Pembahasan kita kali ini, tentang permasalahan2 tsb berikut jawabannya secara ringkas.

Diantaranya adalah sebagai berikut :

Pertanyaan : "Seseorang mengakhirkan atau menunda-nunda qodho' puasa Romadhon tanpa adanya udzur apapun, hingga datang Romadhon yang berikutnya, dan dia masih mempunyai hutang puasa Romadhon tahun yg sebelumnya. Apa kewajiban yg harus dia lakukan ?"

Jawaban :

Dalam masalah ini, ada tiga pendapat para ulama yg masyhur, diantaranya adalah sebagai berikut :

Pertama : Kewajiban dia adalah ikut menunaikan ibadah puasa yg sekarang ini, kemudian dia tetap wajib meng-Qodho' (mengganti/membayar hutang puasanya tahun lalu yg masih tersisa), ditambah lagi membayar fidyah (yakni memberi makan kpd fakir miskin setiap hari, sebanyak berapa hari hutang puasanya tsb).

Ini adalah pendapat jumhur fuqoha' (ahli fiqh). Diantara para sahabat yg berpendapat seperti ini adalah Abu Huroiroh, Ibnu Abbas dan Umar bin Al-Khotthob rodhiyallohu anhum.

Catatan : pendapat ini menambahkan kewajiban membayar fidyah, selain dari meng-Qodho', sebagai hukuman kaffaroh (tebusan atau semacam denda) atas keteledoran dia dlm menyia-nyiakan waktu yg begitu panjang untuk membayar hutang puasanya. Wallohu a'lamu bis showab.

Kedua : Kewajibannya adalah tetap meng-Qodho' hutang puasanya yg masih tersisa tersebut, setelah Romadhon yg baru ini telah usai, tidak perlu membayar fidyah.

Ini adalah pendapat Al-Hasan Al-Bashri, An-Nakho'i, dan Ashabur Ro'yi (julukan untuk Abu Hanifah dan para sahabat beliau).

Alasannya, karena di dlm Al-Qur'an Alloh ta'ala berfirman :

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ....

"....Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." [ QS Al-Baqoroh : 184 ]

Pendapat ini dirojihkan (dikuatkan) oleh Al-Imam Al-Bukhori rohimahulloh, beliau berkata :

"(Di dalam ayat ini), Alloh tidak menyebutkan perintah (untuk) memberi makan/membayar fidyah (bagi orang yg punya tanggungan hutang puasa), hanya saja Dia berfirman : "Maka hendaknya dia mengganti hutang puasanya itu  (yakni meng-Qodho') di hari-hari yg lainnya (selain Romadhon)."

Ketiga : Kewajibannya adalah hanya memberi makan kpd satu orang miskin setiap harinya, tanpa meng-Qodho' (yakni membayar fidyah saja, tanpa harus meng-Qodho', sebagai ganti hutang puasanya tersebut).

Ini adalah pendapatnya Sa'id bin Jubair, Qotadah dan lain-lain.

Tetapi pendapat ini menyelisihi dhohirnya dalil Al-Qur'an tersebut di atas, sehingga pendapat ini adalah pendapat yg lemah.

Mana pendapat yg rojih (kuat dan terlilih) dari ketiga pendapat tsb di atas ?

Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzohulloh menegaskan :

"Yang rojih adalah pendapat kedua, dan inilah yg dirojihkan pula oleh para Imam, seperti Ibnu Hazm, As-Syaukani, Al-Wadi'i (yakni Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i) dan Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimahumulloh ajma'in."

[ lihat : ITHAAFUL ANAM, BI AHKAAMI WA MASAAILIS SHIYAAM (hal. 173), karya guru kami tsb di atas, secara ringkas]

Pendapat yg kedua tersebut di atas, juga yg dirojihkan oleh guru kami yg utama, Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajury hafidzohulloh, dlm kitab beliau ITHAAFUL KIROOM BI AJWIBATI AHKAAMI AZ-ZAKAATI WAL HAJJI WAS SHIYAAM, hal. 385-386]

Wallohu a'lam bis showab.....

[Pembahasan masalah di atas, bisa dilihat pada kitab-kitab sbb

: Syarhus Sunnah (3/506-507), , Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab (6/364) , Al-Mughni (3/40) karya , Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori (no. 1950) , Tafsir Al-Qurthubi (2/283) , dan Al-Muhalla (no. 767) dan lainnya]

Demikian pembahasan ini, insya Alloh masih akan bersambung pada pembahasan berikutnya.

Semoga bermanfaat untuk semuanya, barokallohu fiikum.

Surabaya, Selasa pagi yg sejuk, 17 Sya'ban 1440 H / 23 April 2019 M

✍ Akhukum fillah, Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby
======================
📩 Join Channel Telegram : https://t.me/amalislami

Semoga bermanfaat bagi kita semuanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mati karena sesuai dengan kebiasaannya

ILMU TERBAGI MENJADI DUA (ILMU DHARURI DAN ILMU NAZHARI)

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA