*Memahami Isbal Secara Bijak*




*I. MAKNA ISBAL*

Di dalam kitab Mu’jam Lughah Al Fuqoha hal. 139 dan kitab Al Qamus Al Fiqhi hal. 111, isbal bermakna :
"Mengulurkan sesuatu (sarung, celana, dan sejenisnya) dari atas sampai ke bawah (permukaan tanah) melebihi mata kaki".

*II. DALIL TENTANG ISBAL*

1. Hadits Nabi saw :

مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مَخِيلَةً لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Alloh swt tidak akan melihatnya di hari kiamat." (HR. Bukhari)

2. Hadits Nabi saw :

لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا

"Alloh tidak akan melihat pada hari kiamat nanti terhadap orang-orang yang menurunkan kain sarungnya karena sombong". (HR. Bukhari)

3. Hadits Nabi saw :

مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ

"Apa saja yang berada di bawah mata kaki berupa sarung maka tempatnya di neraka". (HR. Bukhari)

4. Hadits Nabi saw :

مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ

"Barang siapa yang menurunkan pakaiannya karena sombong, maka Alloh swt tidak akan melihatnya pada hari kiamat. Lalu berkata Abu Bakar ra. : “Ya Rasulullah, sarungku sering melorot (lepas ke bawah) kecuali aku benar-benar menjaganya. Maka Nabi saw bersabda, "Engkau tidak melakukannya karena sombong”. (HR. Bukhari)

*III. HUKUM ISBAL MENURUT PARA ULAMA*

Perbedaan pendapat tentang isbal sudah lama ada karena pembahasan tentang isbal termasuk ke dalam ranah fiqih, yang sifatnya tidak qath’i.

Beberapa pendapat tentang isbal diantaranya :

*📝 Pendapat yang Mengharamkan Secara Mutlak*

Fatwa dari ulama Saudi umumnya mengharamkan isbal secara mutlak, misalnya  fatwa Syaikh Abdul Aziz bin  Abdullah bin Baz yang dinukil dari Majalah Ad Da’wah hal 218. Beliau  mengharamkan isbal apapun alasannya, dengan niat sombong ataupun tidak, bahkan menyatakan bahwa isbal termasuk dosa besar dan menyeret pelakunya masuk neraka.  
Dalil yang beliau kemukakan diantaranya hadits Nabi saw :

مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ

"Apa saja yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka tempatnya di neraka". (HR. Bukhari)

ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم المسبل والمنان والمنفق سلعته بالحلف الكاذب

“Ada tiga jenis manusia yang tidak akan diajak bicara oleh Alloh swt pada hari kiamat, tidak dipandang, dan tidak akan disucikan oleh Alloh swt. Mereka mendapat adzab yang pedih. Mereka adalah laki-laki yang isbal, orang yang menyebut-nyebut pemberiannya dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu”. (HR. Muslim)

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz memahami hadits ini dan hadits lainnya yang semakna sebagai "larangan isbal" baik karena sombong atau sebab lain, karena hadits-hadits ini maknanya umum tanpa mengkhususkan. Jika  Isbal karena sombong, maka dosanya lebih besar. Pendapat ini didukung oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani, Syaikh Al Utsaimin dan banyak dari para ulama Arab Saudi.

*📝 Pendapat yang Mengharamkan Isbal Jika Diniatkan Untuk Sombong*

Seluruh ulama mengharamkan isbal jika diniatkan untuk sombong. Dalil-dalilnya sudah dikemukakan di atas.

*📝 Pendapat yang Membolehkan Isbal Jika Tidak Diniatkan Untuk Sombong.*

Ini adalah pendapat ijma ulama madzhab yang empat, baik Imam Hanafi, Imam Malik ataupun Imam Syafi'i. Hanya Imam Ahmad bin Hambal yang memiliki pendapat berbeda.

Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, penyusun kitab Fathul Baari yang merupakan syarah kitab hadits shahih Bukhari.  Beliau digelari "Amirul Mu'minin Fil Hadits" karena keluasan ilmu haditsnya dan sudah diakui oleh ulama sejagat.

Beliau membagi isbal ke dalam 2 kategori :
1. Isbal yang haram, yang diniatkan karena sombong.
2. Isbal yang halal, yang bukan diniatkan sikap sombong.

Ini adalah petikan fatwa Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab Fathul Baari :

وفي هذه الأحاديث أن إسبال الإزار للخيلاء كبيرة, وأما الإسبال لغير الخيلاء فظاهر الأحاديث تحريمه أيضا, لكن استدل بالتقييد في هذه الأحاديث بالخيلاء على أن الإطلاق في الزجر الوارد في ذم الإسبال محمول على المقيد هنا, فلا يحرم الجر والإسبال إذا سلم من الخيلاء

"Di dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa isbal izar karena sombong termasuk dosa besar. Sedangkan isbal bukan karena sombong, meski zhahir hadits mengharamkannya, namun hadits-hadits ini menunjukkan adanya "taqyid" (syarat, ketentuan) karena sombong. Sehingga penetapan dosa yang terkait dengan isbal tergantung kepada masalah ini. Maka "TIDAK" diharamkan memanjangkan kain atau isbal jika selamat dari sikap sombong." (Fathul Baari, hadits ke-5345)

Begitu pula pendapat Imam An Nawawi, murid Imam Asy Syafi'i. Imam An Nawawi adalah seorang ulama besar yang menulis banyak kitab, di antaranya Syarah Shahih Muslim, Riyadhush Shalihin, Arba’in An Nawawiyah, I’anatuth Thalibin dan kitab-kitab masyhur lainnya yang sudah diakui oleh dunia Islam.

Imam Nawawi menjelaskan dalam kitab Syarah Shahih Muslim :

وأما الأحاديث المطلقة بأن ما تحت الكعبين في النار فالمراد بها ما كان للخيلاء, لأنه مطلق, فوجب حمله على المقيد. والله أعلم

"Adapun hadits-hadits yang mutlak bahwa semua pakaian yang melewati mata kaki masuk neraka, maksudnya  jika dilakukan oleh orang yang sombong. Karena dia mutlak, maka wajib dibawa kepada muqayyad. Wallahu A’lam."

Terkait dengan hadits berikut :

ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم المسبل والمنان والمنفق سلعته بالحلف الكاذب

“Ada tiga jenis manusia yang tidak akan diajak bicara oleh Alloh swt pada hari kiamat, tidak dipandang, dan tidak akan disucikan oleh Alloh swt. Mereka mendapat adzab yang pedih. Mereka adalah laki-laki yang isbal, orang yang menyebut-nyebut pemberiannya dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu”. (HR. Muslim)

Maka Imam An Nawawi menjelaskan :

“ Adapun sabda Nabi saw :   المسبل إزاره, maknanya adalah yang menurun ujung sarungnya karena sombong sebagaimana penafsiran Imam Nawawi  pada hadits lainnya :

لا ينظر الله إلى من يجر ثوبه خيلاء

"Alloh swt tidak akan melihat kepada orang yang menurunkan kainnya karena sombong"

والخيلاء الكبر. وهذا التقييد بالجر خيلاء يخصص عموم المسبل إزاره ويدل على أن المراد بالوعيد من جره خيلاء. وقد رخص النبي صلى الله عليه وسلم في ذلك لأبي بكر الصديق رضي الله عنه, وقال, " لست منهم " إذ كان جره لغير الخيلاء

*"Khuyalaa"* adalah "kibr" (sombong).
Khuyalaa’ berasal dari wazan fu’alaa. Kata al khuyalaa, al bathara, al kibru, az zahw, at tabakhtur memiliki makna sama yaitu sombong dan takabbur.

Dan pembatasan adanya sifat sombong mengkhususkan keumuman musbil (orang yang melakukan isbal) pada kainnya, bahwa yang dimaksud dengan ancaman dosa hanya berlaku kepada orang yang memanjangkannya karena sombong. Dan Nabi saw telah memberikan pengecualian kepada Abu Bakar Shiddiq ra. seraya bersabda, "Kamu bukan bagian dari mereka." Hal itu karena panjangnya kain Abu Bakar ra. bukan karena sombong.

Ibnu Qudamah Al Maqdisi menyatakan dalam  kitab Al Mughni : 1/418

ويكره إسبال القميص والإزار والسراويل,  لأن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بَرفْع الإزار . فإن فعل ذلك على وجه الخيلاء حَرُم

“Makruh hukumnya isbal pada gamis, sarung atau sarowil. Karena Nabi saw memerintahkan untuk meninggalkan ketika memakai izar. Jika melakukan hal itu karena sombong maka hukumnya haram”.

Abul Walid Sulaiman Al Baaji dalam kitab Al Muntaqa Syarh Al Muwatha (9/314-315) menyatakan :

وقوله صلى الله عليه وسلم الذي يجر ثوبه خيلاء يقتضي تعلق هذا الحكم بمن جره خيلاء، أما من جره لطول ثوب لا يجد غيره، أو عذر من الأعذار فإنه لا يتناوله الوعيد
Sabda Nabi saw "barangsiapa menjulurkan pakaiannya karena sombong", hal ini menunjukkan hukumnya terkait bagi orang yang melakukannya karena sombong. Adapun orang yang pakaiannya panjang dan ia tidak punya yang lain (hanya punya satu), atau orang yang punya udzur lain, maka tidak termasuk ancaman hadits ini.

Abu Naja Al Maqdisi berkata :

ويكره أن يكون ثوب الرجل إلى فوق نصف ساقه وتحت كعبه بلا حاجة لا يكره ما بين ذلك

“Makruh hukumnya pakaian seorang lelaki panjangnya di atas pertengahan betis atau melebihi mata kaki tanpa adanya kebutuhan. Jika di antara itu (pertengahan betis sampai sebelum mata kaki) maka tidak makruh” (Al Iqna : 1/91)

*IV. APAKAH ISBAL MENJADIKAN SHALATNYA TIDAK SAH?*

Untuk menetapkan bahwa sesuatu itu membatalkan shalat, maka harus bersumber dari nash yang menerangkannya. Sampai saat ini saya yang faqir ini belum pernah menemukan nash dari Al Qur’an, hadits, atau Qaul Ulama yang menyebutkan batalnya shalat karena isbal. Sedangkan para fuqaha berikhtilaf tentang hukum isbal itu sendiri.

Banyak sekali kasus dalam fiqh Islam yang mana perbuatan haram tidak membatalkan shalat. Pembahasan hal-hal seperti ini akan kita temukan misalnya dalam kitab I'anatuth Thalibin, kitab Ghayatul Wushul dan kitab-kitab sejenisnya yang akrab dikaji di dunia Pesantren di negeri-negeri Islam, khususnya di Indonesia. Bisa saja sesuatu perbuatan haram, tetapi ia sah. seperti haramnya berwudhu’ dengan air rampasan, namun wudhu’nya sah. Hal ini karena haram tidak identik dengan tidak sah. Hukum taklifi tidak sama dengan hukum wadh'i. Karena itu, dalam ilmu ushul fiqh ada pembahasan khusus tentang "Apakah larangan (haram atau makruh) dapat menjadikan sesuatu menjadi fasid (tidak sah)"

Syaikh Zakariya Al Anshari dalam kitab ushul fiqh "Ghayatul Wushul", sebuah kitab marja' ilmu ushul fiqh Mazhab Syafi’i di Indonesia dan dunia Islam umumnya, menyatakan :

والأصح ان مطلق النهى ولو تنزيها للفساد شرعا فى المنهى عنهان رجع النهى فيما ذكر اليه أو الى جزئه أو الى لازمه أوجهل مرجعه

"Menurut pendapat yang lebih shahih Mutlaq Nahi (larangan) meskipun larangan tersebut Makruh Tanzih merupakan petunjuk kepada Fasid (tidak sah) yang dilarang itu pada syara’, jika larangan itu kembali kepada dirinya (’ainnya), kembali kepada juzu’nya, atau kepada lazimnya ataupun tidak diketahui tempat kembalinya".

Tentunya dengan segala kerendahan hati, bukan pada tempatnya disini penulis membahas uraian tentang kaidah di atas, sebagaimana yang dimaksud dalam kitab Ghayatul Wushul. Insya Alloh hal itu akan dibahas di lain waktu dalam forum yang lebih terbatas.

*V. KESIMPULAN*

Mencermati uraian yang ringkas di atas, maka izinkan penulis yang faqir ini - dengan memohon ampunan dan rahmat Alloh swt - membuat sebuah kesimpulan sederhana :

1. Hukum bahwa isbal diharamkan secara mutlak nampaknya kurang bijak, karena dalam hal ini ulama berbeda pendapat/ikhtilaf.

2. Diantara hukum isbal tersebut, diantaranya :

*📝seluruh ulama sepakat "haramnya isbal karena sombong".*

*📝Ulama yang mengharamkan mutlak isbal, baik karena sombong ataupun tidak.* Diantaranya Imam Ahmad bin Hambal, Imam Ibnul Arabi, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Nashiruddin Al Albani, Syaikh Al Utsaimin dan beberapa ulama lain.

*📝Ulama yang tidak mengharamkan isbal jika tidak diniatkan sombong.* Para ulama ini Menghukumi isbal sebatas makruh, diantaranya Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Asy Syafi'i, Imam An Nawawi, Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Abul Walid Sulaiman Al Baaji, Imam Abu Naja Al Maqdisi, Imam Al Qalyubi dan para ulama lainnya.

3. Isbal tidak menyebabkan batalnya atau rusaknya shalat seseorang.

4. Terkait perbedaan pendapat dalam hal fiqhiyyah yang berdalil ganda tapi sama2 kuat (tdk dhaif seperti masalah isbal, janggut, qunut nazilah dan sejenisnya maka pendapat mana pun dari para ulama harus kita hormati, meski tidak sesuai dengan pendapat pribadi kita. Karena karakter fiqh yang Azh Zhanni Ats Tsubut Ad Dilalah, apalagi menghormati ijtihad para ulama merupakan cerminan kebaikan adab dan akhlak  seorang muslim yang mengaku bahwa Nabi Muhammad SAW adalah teladannya. Sedangkan tidaklah Nabi Muhammad saw diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlaq.

5. Perbedaan pendapat dalam hal fiqhiyyah harus membuat diri kita makin tawadhu, makin merasa bodoh, makin harus banyak belajar tentang Islam dengan perangkat ilmu yang memadai agar tidak terjebak kepada penghakiman yang sebenarnya tidak perlu terjadi dan makin mawas diri.

6. Belajar Ulumul Syar'i seperti fiqh, hadits, tafsir dan yang lainnya harus memiliki perangkat ilmu dasar yang memadai. Sebagaimana tidak setiap orang mampu mendiagnosa dan menentukan jenis penyakit. Ia butuh ilmu yang memadai, jika bukan dokter maka tidak layak bersikap seperti dokter. Belajar ilmu islam tentu tidak sekadar membaca internet atau majalah tanpa bimbingan seorang guru yang faqih di bidangnya dan bijak serta luas cara pandangnya. Karena kesimpulan pribadi tanpa ilmu yang memadai, apalagi tanpa bimbingan seorang ulama yang faqih, dikhawatirkan membawa kepada pemahaman yang kurang tepat dan kurang bijak.

*VI. MARAJI*

1. Al Minhaj Fi Syarh Shohih Muslim bin Al Hajjaj, karya Imam Abu Zakariyya Muhyiddin Yahya bin Syaraf An Nawawi Ad Dimasyqi, Penerbit Mu'assisah Al Qurthubah, Cetakan Kedua, Tahun 1994 M.

2. Al Mughni, karya Muwaffaquddin Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al Jamma’ili Al Maqdisi Ad Dimasyqi Ash Shalihi Al Hanbali, Penerbit Daar Al Hadiits, Tahun 1425 H/2004 M.

3. Fath Al Baari, Al Imam Al Hafizh Ahmad bin 'Ali bin Hajar Al Asqalani, Penerbit Darul Fikr, Beirut

4. Fath Al Qadir li Al ‘Ajiz Al Faqir, karya Kamaluddin Muhammad bin Humamuddin Abdul Wahid bin Hamiduddin Abdul Hamid bin Sa’duddin Mas’ud As Siwasi Al Iskandari Al Qahiri Al Hanafi, Penerbit Daar Al Fikr, Beirut, Libanon, Tahun 681 H

5. Ghayat Al Wushul Syarh Lubb Al Ushul, karya Syaikhul Islam Zakariyya Al Anshari Asy Syafi'i, Penerbit Maktabah Al Mushtofa.

6. Haasyiyatani Qalyubi wa 'Umairah 'Ala Syarh Jalaluddin Muhammad bin Ahmad bin Ahmad Mahally' Ala Minhaaj Ath Thaalibin li Abi Zakariyya Yahya bin Syarafin Nawawi (Imam Nawawi) Fi al Fiqhi Asy Syaafi'i, karya Ahmad bin Ahmad bin Salamah Abu Al ‘Abbas Syihabuddin Al Qalyubi dan Syihabbudin Ahmad Al Burullusi Al Misri, Penerbit Daar Al Fikr, Beirut, Libanon, tahun 2005

7. I’anah Ath Thalibin ‘ala Halli Alfazhil Fath Al Mu’in, karya Abu Bakr Utsman bin Muhammad Syatha Ad Dimyathi Asy Syafi’, Tanpa Penerbit, Tahun 1310 H.

8. Raudhah Ath Thaalibin karya Imam Abu Zakariyya Muhyiddin Yahya bin Syaraf An Nawawi Ad Dimasyqi, Penerbit Daar Al Kutub Al 'ilmiyyah, Beirut, Libanon, Tahun 1427 H/2006.

9. Syarh Al Waraqaat Fii Ushul Al Fiqh, karya Imam Tajuddin Abdurrohman bin Ibrahim Al Fazari Asy Syafi'i, Penerbit Daar Al Kutub Al 'ilmiyyah, Beirut, Libanon.

Allohu A'lam.

Bandung, 29 Agustus 2015
Ust. Suherman, S.Ag. Al Hafizh
(Pimpinan Pondok Tahfizh Jus Koki Bdg, Pembimbing Utama Tahfizh Pesantren Daarut Bdg, Pembimbing Tahfizh Mesjid Raya Habiburrahman PTDI Bdg, MI At Taqwa Bdg, dll)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mati karena sesuai dengan kebiasaannya

ILMU TERBAGI MENJADI DUA (ILMU DHARURI DAN ILMU NAZHARI)

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA