Wajib Menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai Keagungan dan Kemuliaan Nya


๐Ÿ“š Syarah Ushulul Iman

๐Ÿ“–

“Hanya  milik  Allah-lah  Al  Asma’  Al  Husna  (namanama  yang  baik),  maka berdoalah kepada-Nya  dengan menyebut  Asma-Nya  itu,  dan  tinggalkanlah  orangorang  yang  menyelewengkan  Asma-Nya.  Mereka  nanti pasti  akan  mendapat  balasan  atas  apa  yang  telah mereka  kerjakan.  ” (QS. Al A’raf: 180).

Ibnu  Abi  Hatim  meriwayatkan  dari  Ibnu  Abbas   tentang maksud firman Allah: ๐Ÿˆ ๐Ÿˆ  Artinya: “menyelewengkan ๐Ÿˆ  ๐Ÿˆ  ๐Ÿˆ  ๐Ÿˆ  Asma-Nya.” ๐Ÿˆ  ia mengatakan,  bahwa  maksudnya  adalah:  “berbuat syirik  (dalam  Asma-Nya),  yaitu  orang-orang  yang menjadikan  Asma-asma  Allah  untuk  berhala  mereka, seperti  nama  Al  Lata  yang  berasal  dari  kata  Al  Ilah, dan Al Uzza dari kata Al Aziz.”

Dan  diriwayatkan  dari  Al  A’masy dalam menafsirkan  ayat  tersebut  ia  mengatakan:  “Mereka memasukkan  ke  dalam  Asma-Nya  nama-nama  yang bukan dari Asma-Nya.

Ada 2 golongan yang tersesat dalam menetapkan Asma wa Sifat bagi Allah:

1.  Golongan Mu’aththilah, yaitu mereka yang mengingkari seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah atau mengingkari sebagiannya. Menurut dugaan mereka, menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dapat menyebabkan tasybih (penyerupaan), yakni menyerupakan Allah  ๐Ÿ‰  dengan makhluk-Nya.

 Pendapat ini jelas keliru karena:

a.  Dugaan di atas akan mengakibatkan hal-hal yang batil atau salah, karena Allah  ๐Ÿ‰  telah menetapkan untuk diri-Nya nama-nama dan sifatsifat, serta telah menafikan sesuatu yang serupa dengan-Nya. Andaikata menetapkan nama-nama dan sifat-sifat itu menimbulkan adanya penyerupaan, berarti ada pertentangan dalam kalam Allah, yakni sebagian firman-Nya betolak belakang dengan   sebagian yang lain. b.  Adanya persamaan nama atau sifat dari dua zat berbeda tidak mengharuskan persamaan keduanya dari segala sisi. Anda melihat ada dua orang yang keduanya manusia, sama-sama mendengar, melihat dan berbicara, tetapi tidak harus sama dalam makna-makna kemanusiaannya, pendengaran, penglihatan, dan pembicaraannya. Anda juga melihat beberapa binatang yang punya tangan, kaki dan mata, tetapi persamaan itu tidak mengharuskan tangan, kaki dan mata mereka sama persis. Apabila antara makhluk-makhluk yang serupa dalam nama atau sifatnya saja memiliki perbedaan, maka tentu perbedaan antara khaliq (pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) akan lebih jelas lagi.

2.  Golongan Musyabbihah,  yaitu golongan yang menetapkan nama-nama dan sifat-sifat, tetapi menyerupakan Allah  ๐Ÿ‰  dengan makhluk. Mereka mengira hal ini sesuai dengan nash-nash Al Qur’an, karena Allah berbicara dengan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat difahaminya. Anggapan ini jelas keliru ditinjau dari beberapa hal, antara lain :

a.  Menyerupakan Allah  ๐Ÿ‰  dengan makhluk-Nya jelas merupakan sesuatu yang batil, menurut akal maupun syara’. Padahal tidak mungkin nash-nash kitab suci Al-Qur’an dan sunnah Rasul menunjukkan pengertian  yang batil.

b.  Allah  ๐Ÿ‰  berbicara dengan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahami maknanya.

Adapun hakikat makna yang berhubungan dengan zat dan sifat Allah hanya diketahui oleh Allah saja. Apabila Allah menetapkan  untuk diri-Nya bahwa Dia Maha Mendengar, maka pendengaran itu sudah maklum dari segi maknanya, yaitu menangkap suara-suara. Tetapi hakikat hal itu, bila dinisbatkan kepada pendengaran Allah tidak diketahui, karena hakikat pendengaran sangat berbeda, walau pada makluk-makhluk sekalipun. Tentulah perbedaan hakikat sifat pencipta dan yang diciptakan lebih jauh berbeda. Apabila Allah  ๐Ÿ‰  memberitakan tentang diri-Nya bahwa Dia beristiwa di atas Arsy-Nya, maka kata "beristiwa" dari segi asal maknanya sudah maklum, tetapi hakikat beristiwa Allah itu tidak dapat diketahui. Karena bersemayamnya para makhluk, satu dengan lainnya sangat berbeda, seperti contoh; bersemayam di atas kursi berbeda dengan bersemayam di atas hewan tunggangan, bila bersemayamnya seorang makhluk saja berbeda apatah lagi beristiwanya sang khalik dengan bersemayamnya para makhluk, tentu lebih jauh berbeda lagi.

๐Ÿ–Š catatan: istiwa bagi Allah tidak boleh diartikan dengan kata bersemayam, Karena dalam kamus ditunjukkan arti bersemayam itu adalah duduk. (Lihat penjelasan Ustadz Dzulqarnain Hafidzahullah dalam menerangkan istiwanya Allah)

Wallahu A'lam

Sumber:
๐Ÿ“• kitab At Tauhid, Syaikh Muhammad At Tamimiy

       Syarah Ushulul Iman, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mati karena sesuai dengan kebiasaannya

ILMU TERBAGI MENJADI DUA (ILMU DHARURI DAN ILMU NAZHARI)

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA