urgensi Dua Kalimat Syahadat
Inilah
pilar Islam yang pertama dan utama yaitu persaksian bahwa tidak ada Tuhan yang
berhak untuk disembah selain Allah subhanahu wa ta’ala dan persaksian bahwa
Muhammad adalah utusan Allah. Tanpa adanya pilar ini, maka tidak ada bangunan
Islam dari diri seseorang. Demikian pula jika pilar ini hancur, maka akan ikut
hancur pula bangunan Islam dari diri seseorang. Oleh karena itu sudah seharusnya
seorang muslim memperhatikan dan senantiasa memelihara hal yang satu ini dalam
seluruh waktu dan kehidupannya.
Persaksian
bahwa tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah subhanahu wa
ta’ala dan persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah tidak cukup hanya
sekedar di lisan saja, namun lebih dari itu, seorang yang bersaksi haruslah
mengetahui dan meyakini hal yang dia saksikan serta mengamalkan konsekuensi
kesaksiannya tersebut. Jika ada seorang saksi yang berbicara dengan lisannya bahwa
dia telah melihat sesuatu namun ternyata hal tersebut tidaklah benar alias dia
hanya berbohong maka saksi seperti ini disebut saksi palsu. Demikian juga, jika
ada orang yang mengucapkan kedua kalimat syahadat dengan lisannya, namun
ternyata hatinya tidak meyakininya, maka orang ini adalah seorang pendusta.
Allah subhanahu wa ta’ala menyebutnya sebagai orang munafik ketika mereka
mengatakan bahwa mereka bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
utusan Allah, namun Allah mendustakan persaksian palsu mereka yang tidak muncul
keyakinan tersebut. Allah berfirman:
إِذَا
جَاءكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ
“Apabila
orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa
sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. Al Munafiquun: 1)
Kalimat
yang pertama dari dua kalimat syahadat ini, yaitu kalimat Laa Ilaha Illallah
bukanlah kalimat yang ringan dan sepele. Ada
makna yang sangat dalam dan konsekuensi yang sangat besar di balik kedua
kalimat ini. Bahkan Allah pun menjadi saksi kalimat Laa Ilaha Illallah ini. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman,
شَهِدَ
اللّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُواْ الْعِلْمِ قَآئِمَاً بِالْقِسْطِ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah
menyaksikan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah),
Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan
orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan
melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 18)
Kalimat
Laa Ilaha Ilallah,
sebagaimana penjelasan para ulama, memiliki makna:
لَا
مَعْبُوْدَ حَقٌ إِلَا اللهُ
“Tidak
ada sesembahan yang berhak untuk disembah selain Allah”
Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman,
ذَلِكَ
بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“Yang
demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan
sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil,
dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj: 62)
Dari
makna ini kita mengetahui adanya sesembahan selain Allah subhanahu wa ta’ala
yang disembah oleh manusia seperti kuburan, pohon, para Nabi, malaikat, orang
shalih dan lain sebagainya. Namun sesembahan tersebut pada hakikatnya tidak
berhak sama sekali untuk disembah dan diibadahi karena yang berhak disembah dan
diibadahi hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala.
فَمَا
أَغْنَتْ عَنْهُمْ آلِهَتُهُمُ الَّتِي يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ مِن شَيْءٍ لِّمَّا جَاء أَمْرُ رَبِّكَ وَمَا زَادُوهُمْ غَيْرَ تَتْبِيبٍ
“Karena
itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka
seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu
tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (QS. Huud: 101)
Dalam
ayat ini, Allah menyebutkan bahwa orang-orang musyrik memiliki sesembahan
selain Allah. Namun sesembahan itu sama sekali tidak dapat memberikan manfaat
pada mereka ketika datang azab Allah.
Oleh
karena itu, sungguh suatu fenomena yang sangat menyedihkan sekali ketika kita
melihat ada seorang muslim yang sudah mengucapkan kedua kalimat syahadat, namun
dia masih melakukan berbagai macam bentuk peribadatan kepada selain Allah
subhanahu wa ta’ala baik itu kepada orang shalih, kuburan, jin penunggu dan
lain sebagainya. Di antara penyebab terjadinya hal ini adalah ketidaktahuan
terhadap agama Islam yang menimpa banyak kaum muslimin di zaman ini. Terlebih
lagi tidak tahu terhadap tauhid yang merupakan inti dari agama Islam.
Dalam
kalimat لا اله إلا الله terkandung dua aspek yang
sangat penting. Yang pertama yaitu aspek peniadaan/negasi, hal ini tercermin
pada kata-kata لا اله (Tidak ada sesembahan yang
berhak disembah) yang berarti meniadakan dan segala macam bentuk peribadatan
pada selain Allah, apapun bentuknya. Para
ulama mengistilahkan aspek pertama ini dengan istilah An Nafyu (النفي). Sedangkan aspek yang kedua
yaitu aspek penetapan, hal ini tercermin pada kata-kata إلا الله (kecuali Allah) yang berarti
menetapkan bahwa seluruh macam bentuk peribadatan hanyalah untuk Allah semata. Para ulama mengistilahkan aspek pertama ini dengan
istilah Al Itsbat
(الإثبات).
Kedua
aspek ini sangatlah penting untuk dipahami dengan benar oleh seorang muslim
yang ingin merealisasikan dua kalimat syahadat ini. Karena, jika seorang muslim
salah dalam memahaminya, maka ia akan salah pula dalam merealisasikannya.
Contohnya bisa kita lihat pada orang-orang yang sekarang disebut dengan JIL
(Jaringan Islam Liberal), sebagian mereka (baca: Nurcholis Madjid jazaahullahu bimaa yastahiq)
menafsirkan dan memaknai kalimat Tauhid dengan makna “tidak ada tuhan (dengan t
kecil) kecuali Tuhan (dengan T besar)”. Dengan tafsiran yang salah
ini, mereka menyamakan seluruh Tuhan yang ada yang disembah manusia. Ujung
kesimpulan mereka, mereka mengatakan bahwa Tuhan seluruh agama adalah satu
hanya berbeda-beda dalam penyebutannya. Semoga Allah membinasakan orang-orang
seperti ini dan menjauhkan kaum muslimin dari pemikiran seperti ini.
Kedua
aspek ini pulalah yang telah dipahami oleh Nabi Ibrahim ‘alaihi salam Imam
orang-orang yang bertauhid, bapaknya para Nabi dan Rasul. Allah berfirman
ketika menceritakan perkataan Ibrahim ‘alaihi
salam,
وَإِذْ
قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاء مِّمَّا تَعْبُدُونَ إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Dan
ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku
berlepas diri terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang
menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” Dan
lbrahim menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya
mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (QS. Az Zukhruf: 26-28)
Nabi
Ibrahim ‘alaihi salam,
menafikan seluruh sesembahan yang disembah oleh kaumnya dengan mengatakan bahwa
beliau berlepas diri dari hal tersebut. Kemudian beliau menetapkan bahwa peribadatan
beliau hanyalah kepada Tuhan yang telah menciptakan beliau yaitu Allah
subhanahu wa ta’ala. Kemudian beliau menjadikan kalimat لا اله إلا الله tersebut kekal untuk
keturunannya.
Kemudian
bagian kedua dari dua kalimat syahadat ini yaitu persaksian bahwa Muhammad
adalah utusan Allah. Allah subhanahu wa ta’ala telah menegaskan bahwa telah ada
seorang Rasul di antara manusia ini yang Allah utus, dan dialah Nabi kita,
teladan kita Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
لَقَدْ
جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
“Sungguh
telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)
Allah
subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
هُوَ
الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Dia-lah
yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al Jumuah: 2)
Makna
kalimat kedua ini adalah yang meyakini bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
diberi wahyu oleh Allah dan meyakini beliau adalah benar-benar utusan Allah,
serta beliau adalah penutup para Nabi (Syarah
Arba’in An Nawawiyah Syaikh Shalih Alu Syaikh: hadits kedua). Oleh
karena itu, barang siapa yang berkeyakinan bahwa beliau tidaklah diberi wahyu
oleh Allah subhanahu wa ta’ala maka persaksiannya tidaklah sah. Hal ini banyak
kita saksikan di zaman sekarang, ada orang-orang yang meragukan agama Islam.
Mereka mengatakan bahwa Al Quran dan Hadits hanyalah konsep yang disusun oleh
Muhammad dan bukan wahyu yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala yang
kemudian konsep tersebut dijalankan oleh para sahabatnya, wal’iyadzubillah.
Barang
siapa yang meyakini bahwa beliau tidaklah diutus untuk menyampaikan sesuatu
yang telah diperintahkan kepada beliau, maka persaksiannya tidaklah sah.
Demikian juga barang siapa yang menganggap adanya Rasul dan utusan Allah
setelah Nabi kita Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka persaksiannya tersebut tidaklah sah.
Persaksian
bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah memiliki konsekuensi yaitu taat
terhadap perintah beliau, membenarkan berita yang beliau bawa, dan menjauhi
seluruh larangan beliau dan kita beribadah kepada Allah hanya dengan syariat
yang beliau bawa. Syaikh Nu’man bin Abdul Kariim Al Watr berkata dalam Taisir Wushul, “Taat dengan perintah beliau
yaitu menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau
memerintahkan kita. Karena taat pada beliau adalah taat pada Allah dan karena
perkataan beliau tidak berasal dari hawa nafsu dan Rasulullah hanya
memerintahkan kita dengan hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan agama kita.
Membenarkan berita yang beliau bawa karena beliau adalah orang yang jujur dan
dibenarkan dan karena perkataan beliau tidak berasal dari hawa nafsu dan
merupakan konsekuensi beriman bahwa beliau adalah benar-benar Rasulullah adalah
membenarkan perkataan beliau. Menjauhi seluruh larangan beliau karena perkataan
beliau tidak berasal dari hawa nafsu dan beliau hanya melarang kita dari hal
yang tidak bermanfaat bagi dunia dan agama kita. Beribadah kepada Allah hanya
dengan syariat yang beliau bawa karena orang yang beribadah pada Allah dengan
syariat selain beliau maka dia telah melakukan bid’ah. Nabi shalallahu ‘alaihi
wa sallam pernah bersabda, “Barang siapa yang beramal dengan amalan yang tidak
ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)”
(Taisir Wushul
hal: 73).
ushulul iman, syaikh ibnul utsaimin
Komentar
Posting Komentar