Allah Lebih Berhak Atas Istrimu Dibanding Dirimu!


Oleh: Muhammad Syukri
Dokter Muda, Penulis buku "Hidup Sekali Jangan Merugi!"
Ceritanya, hari-hari ini kami sedang diliputi suasana bahagia, menyambut hadirnya bocah kecil di tengah2 keluarga kami. Istri saya sedang hamil tua. Atas kuasaNya, segala proses yg berlangsung selama ini berjalan sesuai rencana. Sampai akhirnya "masalah" itu hadir. Waktu itu hari senin, tanggal 29 Agustus 2017. Dalam hitungan kami, ini sudah lewat 7 hari dari Hari Perkiraan Lahir (HPL). Artinya ini sudah 41 minggu, dan sing ditunggu ora metu-metu. Tentu ini bukan kabar baik.
Maka malam itu, dokter memutuskan agar istri saya dirawat di rumah sakit untuk memudahkan intervensi. Menjelang tengah malam, Allah berikan kabar baik. Istri saya sudah pembukaan 3cm. As we know, total pembukaan lengkap adalah 10cm. Jadi masih cukup jauh menuju persalinan. Okelah. Let its flow.
Malam itu VK (Verlos Kamer/ Kamar Bersalin) sedang penuh. Sepertinya calon2 bayi itu sepakat untuk lahir di waktu yg beriringan. Ada lebih dari 10 bed yang semuanya berpenghuni. Kalau ada satu ibu yang berhasil melaksanakan tugas mulianya melahirkan sang putra, maka akan segera diganti dengan penghuni yg lainnya. Mereka datang silih berganti, seiring dengan silih bergantinya teriakan2 semacam ini bersliweran di telinga kami:
"Aku ga kuaaaaat, bu bidaaaan."
"Setoop. Setoop. Aku nyeraaah."
"Mbok.eeee tulung mbok.eee"
"Iki kon ngeden sampek kapan, Ya Alloooh. Ampuun."
Istri saya menghela nafas panjang. Apa se-menyakitkan itu rasanya memikul amanah dari Sang Maha Rahman?
Hari Selasa tiba. Tapi pembukaan tetap saja di angka tiga. Kami berharap Selasa malam akan ada kemajuan. Obat untuk membantu pembukaan juga telah dimasukkan, tapi tak juga menghasilkan. Dan hari Rabu akhirnya benar2 menghampiri, dengan kondisi yang tak kunjung berpihak pada kami. Rabu siang berlalu. Kini hari sudah beranjak petang. Artinya sudah 42 jam istri saya berada di VK dengan bukaan yang tak bertambah satu pun! Padahal secara teori, "harusnya" anak kami sudah lahir ke dunia.
Mbak bidan yang ramah itu menghampiri kami. "Ini sampai sekarang portionya masih keras, Pak. Dokter menyarankan operasi. Operasinya jam 10 malam ini. Kalau bapak setuju, kami tunggu untuk tanda tangan persetujuan di meja depan."
"Baik. Saya mohon izin menjelaskan ke keluarga saya dulu ya mbak."
Saya keluar VK. Memberikan penjelasan ke keluarga yg sejak sore menunggu di depan VK. Semua mengangguk tanda setuju. Sepertinya memang ini yang terbaik. Bismillah.
Saya bergegas kembali ke VK. Tak sampai satu detik semenjak saya berbalik badan, ada jemari yg tiba2 menggenggam pergelangan tangan saya. Saya menoleh. Ayah saya! Itu tangan ayah saya. Beliau menatap saya dalam-dalam. Saya membatin. Ada apa?
Masih ditengah kebingungan, beliau segera menarik tangan saya.
"Ikut Papah dulu."
Allah mengunci mulut saya untuk bertanya "Kemana, Pah?"
Tak lama, kami telah sampai di sebuah bangunan yg saya akrabi sejak kecil. Mushola. Kami telah berdiri di depan mushola.
Ayah saya berujar lirih. "Masuklah. Ambil shaf di depan. Shalatlah 2 rakaat. Menghadaplah Allah sebelum kau menghadapi lembar persetujuan operasi itu. Allah yang lebih berhak atas istrimu, bukan dirimu. Papah akan shalat di belakangmu."
Selepas shalat, kami berjalan beriringan menuju VK.
"Tanda tangan saja. Papah doakan ini yg terbaik." Saya mengangguk.
Bidan-bidan baik hati itu telah menunggu. Setelah istri saya mengangguk setuju, saya bubuhkan tanda tangan persetujuan. Tak lama kemudian, baju operasi telah membalut tubuh istri saya. Kami benar2 telah siap masuk ke ruang operasi.
Waktu itu jam 7 malam. Istri saya masih pembukaan 3, dan tak ada bayangan apapun di depan kami selain satu hal: anak kami akan lahir dengan operasi caesar.
Di detik2 itu, istri saya merasakan mulas dan nyeri perut yg bertambah-tambah.
Dia bertanya, "sampai kapan ini, Yah?"
Harusnya saya menjawab "Sabar ya, Bunda. Sebentar lagi Bunda akan masuk ruang operasi"
Tapi tidak. Allah hanya mengizinkan saya tersenyum. Berusaha agar tak ikut meneteskan air mata di depannya.
Saya tak banyak bicara. Hanya sediakan tangan saya untuk diremat2nya setiap kali perutnya bereaksi. Saya tahu itu pasti sakit luar biasa. Tapi saya juga tak bisa berbuat banyak untuk membantunya.
Dia pegang tangan saya untuk kesekian kalianya. Dia katakan, "Ayah kecewa ya sama Bunda? Bunda terlalu manja ya?"
Saya tersenyum. Saya usap air matanya. Berusaha meyakinkan bahwa InsyaAllah ini tak akan lama.
Dan Allah benar2 hadir di tengah2 kami. Pukul 19.45, disaat perut yg rasanya makin tak karuan itu, -mohon maaf- saya melihat ada feses (BAB) yg keluar. Ini artinya tekanan anus istri saya sedang meningkat.
Saya berfikir. Tekanan anus meningkat! Ini salah satu tanda2 persalinan! Itu artinya, pembukaan mungkin sudah lengkap! Tapi apa mungkin? Jam 7 tadi saja masih buka 3cm.
Tak mau membuang waktu, setelah saya bersihkan semuanya, saya bilang ke mbak2 bidan itu.
"Mbak, ini tekanan anus istri saya meningkat. Tolong dicek lagi pembukaannya."
Dan apa yg terjadi? Bidan itu berteriak, "Nyonya Syayma bukaan lengkap!"
What? How come?
Harusnya kami butuh waktu sekitar 6 jam untuk sampai ke pembukaan lengkap. 6 jam! Sedangkan ini baru 45 menit!
Dengan semangat membara, saya katakan ke mereka,
"Allahuakbar!! Lets go, mbak! Mari kita sikat"
Dalam hitungan detik, bidan2 itu telah bersiap dengan "pakaian perang" mereka, lengkap dg sepatu boot nya. Dan setelah dipimpin persalinan selama kurang lebih 20 menit, tepat di pukul 20.13, anak kami lahir!
Ayah saya mengajarkan saya untuk mempercayai adanya keajaiban. Kata beliau, keajaiban itu memang ada. Tapi beliau meminta saya untuk tidak terpesona dg keajaiban itu sendiri.
Kata beliau "yang harusnya membuatmu terpesona bukanlah keajaiban itu, tapi Dia yg tak pernah kehilangan cara untuk menciptakan berbagai keajaiban agar hambaNya tersenyum bahagia. Terpesonalah pada Nya, bukan yg lain. Siapapun itu."
Kediri, 1 September 2017
@doktersyukrisyayma

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mati karena sesuai dengan kebiasaannya

ILMU TERBAGI MENJADI DUA (ILMU DHARURI DAN ILMU NAZHARI)

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA