SUDAHKAN KITA MENGAMBIL HIKMAH DARI FIRMAN-NYA




Hidup ini sesungguhnya teramat singkat untuk itu tak perlu kita lewati dengan stress apalagi prustasi. Sebab, apapun yang kita alami, hakikatnya solusi sudah ada di dalam Al-Qur'an. Kita akan terus menghadapi ujian yang sama jika setiap kali ujian datang, kita tak pernah lulus dari ujian tersebut,” “Misalnya kita tiba-tiba sakit perut. Kita lantas mencari obat, reda. Dan, tidak lama lagi, sakit perut lagi. Loh, kenapa jadi sering sakit perut,” pikir kita. Karena kita tidak mau belajar mengambil hikmah. Sebenarnya ketika sakit perut pertama, kita mestinya mengambil hikmah, cek kebiasaan makan kita. Apakah makanan kita berdasarkan kebutuhan atau nurutin selera, sambel yang banyak misalnya. Jika kita tidak mengambil hikmah, sampai kapanpun, sekalipun kita minum obat, sakit perut itu akan terus menimpa kita. Kenapa, kita bersandar pada obat dan tidak benar-benar ingin sehat. Kalau mau sehat, ambil hikmah dan berhenti makan secara tidak sehat,”
.
Ya pandangan tersebut patut memantik kesadaran kita untuk melihat hidup ini dengan menemukan atau mengambil hikmah dari setiap kejadian yang mewarnai kehidupan ini. Allah Ta’ala pun memerintahkan kita untuk berpikir dengan kisah-kisah, perumpamaan yang Allah jabarkan di dalam Al-Qur’an. “Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar merepa berpikir.” (QS. Al-A’raf: 176). Dalam bahasa umum hikmah dipahami sebagai kebijaksanaan atau bijaksana. Dan, di dalam Al-Qur’an istilah ‘hikmah’ yang merupakan langsung dan asli dari Al-Qur’an itu disebut sebanyak 20 kali. Hamid Fahmy Zarkasy menjelaskan bahwa Hikmah juga berkaitan dengan berpikir yang logis dan mendalam. Karena itu Ibn Rusyd menerjemahkan ‘hikmah’ dengan filsafat dan hakim dengan filosof. Tentu saja, makna praktis yang bisa kita ambil adalah bagaimana kita senantiasa mau mengambil pelajaran dari setiap peristiwa yang mengitari kehidupan sekaligus mengambil ibrah (pelajaran) dari kisah-kisah yang ada di dalam Al-Qur’an. Dengan demikian, perubahan mindset dan perilaku bisa secara perlahan diupayakan di dalam diri kita.
Mari kita merenung mengapa Abu Bakar diberi gelar Ash-Shiddiq. Aisyah Raiyallahu ‘Anha mengatakan, “Ketika Nabi Shallallahu alayhi wasallam dalam perjalanan ke Masjid Aqsha saat Isra Mi’raj, banyak orang membicarakannya. Beberapa orang yang telah beriman pun berbalik tidak percaya, lalu mendatangi Abu Bakar dan berkata, “Apa pendapatmu tentang cerita temanmu itu? Dia mengaku telah diperjalankan ke Baitul Maqdis semalam. Abu Bakar balik bertanya, Dia mengatakan demikian?” Mereka menjawab, “Ya.” Abu Bakar menimpali, “Kalau begitu dia benar.” “Jika dia pergi ke Baitul Maqdis semalam dan kembali sebelum pagi hari ini, apa engkau akan membenarkannya juga?” tanya mereka lagi. Abu Bakar menjawab, “Seandainya dia mengatakan lebih jauh lagi dari itu, aku akan membenarkannya, baik yang telah lalu maupun yang akan datang.” Hal inilah yang menjadikan Abu Bakar dijuluki dengan Ash-Shiddiq.
Sepenggal kisah di atas memberikan petunjuk bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah dan segala kebenaran yang belum bisa dijangkau oleh rasio dan cara berpikir saat itu sama sekali bukan penentu untuk mengukur kebenaran dan keabsahan kerasulan Muhammad. Toh, dalam praktik keseharian, Nabi Muhammad adalah orang yang berkahlakul karimah, menghendaki hidayah bagi umatnya dan tidak pernah berpikir bagaimana mendapatkan keuntungan-keuntungan pribadi. Dengan logika sederhana bisa dipahami, “Jadi apa untungnya Nabi Muhammad berbohong dan itu sangat mustahil.” Oleh karena itu, keimanan Abu Bakar tidak pernah goyah dengan ketidaktahuan masyarakat Arab pada umumnya. Secara lebih utuh, kisah Nabi Yusuf adalah kisah terlengkap di dalam Al-Qur’an yang terurai secara keseluruhan di dalam satu surah, yang tentu saja memudahkan kita untuk mengambil pelajaran (hikmah) di dalam kisah tersebut. Sampai-sampai Allah Ta’ala menegaskan “Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan)nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.” QS. Yusuf [12]: 3).
Di antara hikmah terbesar dari kisah Nabi Yusuf adalah kesabarannya dalam menghadapi cobaan hidup dan bahkan Nabi Yusuf berlapang dada dan memaafkan saudara-saudaranya saat dirinya menjadi orang yang Allah angkat derajatnya. Secara eksplisit Allah nyatakan mengenai kisah Nabi Yusuf ini. “Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya.” (QS. Yusuf [12]: 7). Bagi orang-orang yang bertanya menunjukkan bahwa apa yang ditegaskan oleh Hamid Fahmy Zarkasy bahwa hikmah bermakna pemikiran yang mendalam sangatlah relevan. Oleh karena itu, Allah banyak sekali memerintahkan umat Islam untuk senantiasa berpikir, terutama untuk memahami kekuasaan Allah Ta’ala. Di antara hikmah dari kisah Nabi Yusuf adalah jangan pernah putus asa dari rahmat Allah, sekalipun rasa-rasanya hidup diterpa kesulitan secara bertubi-tubi. Kemudian, jangan pernah kompromi dengan kebatilan, sebab sekalipun harus menghadapi kesulitan karena konsisten di dalam kebenaran, Allah lah yang akan berikan jalan keluar terbaik dan membalikkan keadaan.
Ini yang teramat sulit, jangan pernah dendam, sekalipun terhadap mereka yang telah membuat hidup kita sengsara. Maafkan dan terimalah mereka kembali. Di sana ada kebahagiaan luar biasa. Dengan demikian, sebenarnya hidup kita seorang Muslim tidak perlu dilanda stress apalagi frustasi. Sebab, apapun yang kita alami, hakikatnya solusi sudah ada di dalam Al-Qur’an. Lantas pertanyaannya adalah, apakah diri kita telah benar-benar mengambil pelajaran dengan sungguh-sungguh mentadabburinya atau sekedar tahu tanpa pernah melakukan perenungan dan pendalaman dari setiap ayat-ayat Allah yang terpapar di dalam Al-Qur’an. Ya kita sendirilah yang tahu jawabannya. Padahal, jika kita mau bertafakur sesaat dan mengambil hikmah itu adalah perlu karena itulah sejatinya kekuatan dari setiap pembacaan yang kita lakukan. Dan, tentu saja hikmah itu datangnya dari Allah, bukan kemampuan kita semata. “Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al-Baqarah [2]: 269). Ada satu kata hikmah dari Umar bin Khatab yang perlu kita renungkan bahwa,”hari ini adalah kehidupan dan besok adalah kematian” Jadi Sebelum tiba hari esok, sebelum ajal menghampiri, selagi desah nafas masih melewati kerongkongan jangan pernah lelah untuk terus belajar mengambil hikmah dari setiap ujian hidup ini. Semoga Allah membimbing kita senantiasa mampu mengambil hikmah, sehingga dapat mengambil pelajaran, ibrah dari setiap ujian hidup ini dan istiqomah di dalam keimanan dan kebenaran. Wallahu a’lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mati karena sesuai dengan kebiasaannya

ILMU TERBAGI MENJADI DUA (ILMU DHARURI DAN ILMU NAZHARI)

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA