Seputar Niqab/Cadar

*Kajian Fiqh/Ibadah*

""

Niqab/Cadar adalah kain penutup kepala atau muka (bagi perempuan).
Niqab (Arab: نقاب‎, niqāb‎) adalah istilah syar'i untuk cadar yaitu sejenis kain yang digunakan untuk menutupi wajah. Niqab dikenakan oleh sebagian kaum perempuan Muslimah sebagai kesatuan dengan jilbab (hijab). Niqab banyak dipakai wanita di negara-negara Arab sekitar Teluk Persia seperti Arab Saudi, Yaman, Bahrain, Kuwait, Qatar, Oman dan Uni Emirat Arab. Ia juga biasa di Pakistan dan beberapa wanita Muslim di Barat.

Inilah yang belum dipahami oleh sebagian orang. Mereka merasa aneh dengan orang yang memakai niqab/cadar. Mungkin mereka belum tahu bahwa memakai cadar juga termasuk ajaran Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlepas apakah menutup wajah merupakan suatu yang hukumnya wajib (diperintahkan), sunat/mustahab (dianjurkan) atau mubah (sekedar boleh).

Terdapat perbedaan pendapat dalam madzhab-madzhab fiqh Islam mengenai hukum penggunaan cadar bagi wanita. Perselisihan pendapat antara ahli fiqh umumnya berkisar mengenai pengunaannya, apakah hal tersebut wajib (diperintahkan), sunat/mustahab (dianjurkan) ataukah mubah (sekedar boleh).

Perbedaan pendapat tersebut tidak bertentangan dan tidak perlu saling dibenturkan, karena tidak ada madzhab Islam yang mengharamkannya. Yang harus dikedepankan adalah saling menghargai pendapat dan menghormati satu sama lain.

Sama seperti persoalan fiqih lainnya, persoalan cadar (niqab) bagi kaum perempuan juga termasuk persoalan ikhtilaf yang mu’tabar di kalangan para fuqaha. Al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya, sebagai contoh, ketika menafsirkan: “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.” (QS. an-Nur [24] : 31), beliau mengutip penjelasan dari Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, dan para ulama salaf berikutnya bahwa yang dimaksud adalah “dikecualikan wajah dan telapak tangan”. Menurut beliau: Wa hadza huwal-masyhur ‘indal-jumhur; ini adalah masyhur menurut jumhur/mayoritas ulama. Akan tetapi ketika menafsirkan ayat: Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. (QS. al-Ahzab [33] : 59), al-Hafizh Ibn Katsir mengutip penjelasan dari Ibn ‘Abbas dan mufassir salaf lainnya, bahwa yang dimaksud adalah perintah untuk menjulurkan jilbab (kain di luar kerudung) ke seluruh tubuhnya dan menyisakan satu mata saja.

Dalam kitab al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu yang ditulis oleh Wahbah az-Zuhaili dalam pembahasan seputar haddul-‘aurah/batasan aurat (1 : 633-647) dijelaskan bahwa para ulama keempat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, keempat-empatnya membenarkan bahwa wajah dan telapak tangan dikecualikan sebagai aurat dari seorang perempuan merdeka. Akan tetapi itu disepakati di dalam shalat. Adapun di luar shalat, terdapat perbedaan pendapat. Para ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali umumnya menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat, termasuk wajah dan telapak tangannya. Dalilnya hadits-hadits yang menyatakan bahwa “perempuan adalah aurat” dan hadits yang melarang seorang lelaki melihat/menatap perempuan tanpa ada keperluan syar’i. Sementara ulama madzhab Hanafi dan Maliki sebatas menganjurkan wajah ditutup cadar karena takut fitnah.

Kenyataan bahwa para ulama mayoritas mengakui pengecualian wajah dan telapak tangan dari aurat perempuan dalam shalat, menunjukkan bahwa pada hakikatnya keduanya memang bukan aurat yang wajib ditutup. Ini dikuatkan juga dengan larangan memakai cadar dan sarung tangan bagi perempuan ketika ibadah haji/’umrah (Shahih al-Bukhari bab ma yunha minat-thib lil-muhrim wal-muhrimah no. 1838). Syaikh al-Albani menyatakan, hadits ini menunjukkan bahwa cadar dan sarung tangan sudah biasa dipakai oleh kaum perempuan saat itu, maka dari itu dilarang ketika ibadah haji/’umrah. Akan tetapi ini tidak menunjukkan bahwa selain haji wajib dipakai, atau bahwa maksud ayat QS. al-Ahzab [33] : 59 berarti wajib memakai niqab (Hijabul-Mar`ah, hlm. 18). Sebab fakta bahwa banyak hadits yang menjelaskan interaksi kaum perempuan dengan Rasulullah saw atau sebagian shahabat tanpa bercadar dan tidak diingkari oleh Rasulullah saw menunjukkan bahwa wajah bukan aurat yang wajib ditutup oleh kaum perempuan (Hijabul-Mar`ah).

Maka pendapat sebagian ulama yang menyatakan perempuan di luar shalat harus menutup seluruh tubuhnya, termasuk wajah dengan cadar, ini tidak lebih dari sebuah anjuran semata agar terhindar dari fitnah. Bukan sebuah kewajiban mutlak berdasarkan nash yang jelas. Sebab hadits-hadits yang dijadikan dalil tidak tegas mewajibkan perempuan bercadar, hanya sebatas harus berhati-hati dari pandangan laki-laki. 

Kita dapat melihat dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para wanita,

لاَ تَنْتَقِبُ المَرْأَةُ المُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبِسُ الْقَفَّازِيْنَ

“Wanita yang berihrom itu tidak boleh mengenakan niqob maupun kaos tangan.” (HR. Bukhari, An Nasa’i, Al Baihaqi, Ahmad dari Ibnu Umar secara marfu’ –yaitu sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-).

Niqob adalah kain penutup wajah mulai dari hidung atau dari bawah lekuk mata ke bawah. Menurut hadits di atas khusus dalam pelaksanaan ihram, maka tidak dianjurkan memakai cadar/niqab. Namun larangan tersebut hanya sebatas makruh, tidak sampai haram.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika menafsirkan surat An Nur ayat 59 berkata, ”Ini menunjukkan bahwa cadar dan kaos tangan biasa dipakai oleh wanita-wanita yang tidak sedang berihrom. Hal itu menunjukkan bahwa mereka itu menutup wajah dan kedua tangan mereka.”

Sebagai bukti lainnya juga, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Ummahatul Mukminin(Ibunda orang mukmin yaitu istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) biasa menutup wajah-wajah mereka. Di antara riwayat tersebut adalah :

Dari Asma’ binti Abu Bakr, dia berkata, ”Kami biasa menutupi wajah kami dari pandangan laki-laki pada saat berihram dan sebelum menutupi wajah kami menyisir rambut.” (HR. Hakim. Dikatakan oleh Al Hakim : hadits ini shohih. Hal ini juga disepakati oleh Adz Dzahabi)

Dari Shafiyah binti Syaibah, dia berkata, ”Saya pernah melihat Aisyah melakukan thowaf mengelilingi ka’bah dengan memakai cadar.” (HR. Ibnu Sa’ad dan Abdur Rozaq. Semua periwayat hadits ini tsiqoh/terpercaya kecuali Ibnu Juraij yang sering mentadlis dan dia meriwayatkan hadits ini dengan lafazh ‘an/dari)

Dari Abdullah bin ‘Umar, beliau berkata, ”Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlihatkan Shofiyah kepada para shahabiyah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Aisyah mengenakan cadar di kerumunan para wanita. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui kalau itu adalah Aisyah dari cadarnya.” (HR. Ibnu Sa’ad)

Juga hal ini dipraktekan oleh orang-orang sholeh, sebagaimana terdapat dalam riwayat berikut. 
Dari ‘Ashim bin Al Ahwal, katanya, ”Kami pernah mengunjungi Hafshoh bin Sirin (seorang tabi’iyah yang utama) yang ketika itu dia menggunakan jilbabnya sekaligus menutup wajahnya. Lalu, kami katakan kepadanya, ’Semoga Allah merahmati engkau. …’ “ (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi. Sanad hadits ini shohih)

Riwayat-riwayat di atas secara jelas menunjukkan bahwa praktek menutup wajah sudah dikenal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan istri-istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengenakannya bahkan hal ini juga dilakukan oleh wanita-wanita sholehah sepeninggal mereka. 
(Lihat penjelasan ini di kitab Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani, 104-109, Al Maktabah Al Islamiyyah Aman-Yordan. Edisi terjemahan ‘Jilbab Wanita Muslimah, Media Hidayah’)

Lalu bagaimana hukum menutup wajah itu sendiri? Apakah wajib (diperintahkan) atau mustahab/sunat (dianjurkan)?

Berikut akan sedikit menyinggung mengenai hal tersebut.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mendekatkan jilbabnya  ke seluruh tubuh mereka“. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab [33] : 59).

Jilbab bukanlah penutup wajah, namun jilbab adalah kain yang dipakai oleh wanita setelah memakai khimar. Sedangkan khimar adalah penutup kepala.

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur [24] : 31).

Berdasarkan tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atho’ bin Abi Robbah, dan Mahkul Ad Dimasqiy bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan. 
Dari tafsiran yang shohih ini terlihat bahwa wajah bukanlah aurat. Jadi, hukum menutup wajah yang paling kuat (rajih) adalah sunat/mustahab (dianjurkan).

Wal-'llahu a'lam bis-shawab

Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Amr Abdul Mun’im Salim, hal. 14

Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani, edisi terjemahan ‘Jilbab Wanita Muslimah’

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mati karena sesuai dengan kebiasaannya

ILMU TERBAGI MENJADI DUA (ILMU DHARURI DAN ILMU NAZHARI)

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA